Lebih jauh. Dalam tuntutan yang pertama, buruh menuntut DPR untuk mencabut Omnibus Law melalui proses legislative review sesuai mekanisme UUD 1945 Pasal 20, 21, dan 22 A. Serta Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP).
"Ini solusi karena dalam tanda kutip, pemerintah seperti menolak untuk membuat perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang)," urainya.
Kemudian, soal upah murah yang membuat para buruh berang. Mereka menolak edaran dari Menteri Ketenagakerjaan. Yang meminta seluruh Gubernur di Indonesia untuk tidak menaikkan upah di tahun 2021.
"Jadi, upah sama seperti tahun 2020. Alasannya pandemi. Ini seakan perusahaan dipukul rata. Padahal di masa pandemi, tak semua perusahaan kolaps atau terkena imbas pandemi," tegas Yoeyoen.
Kembali ke persoalan Omnibus Law Cipta Kerja. Bahkan, hingga saat ini draf UU yang bakal ditandatangani masih belum jelas. Mengingat banyak versi yang bermunculan ke tengah publik.
Kendati demikian, versi manapun yang bakal diteken presiden, mau tidak mau buruh bakal menempuh langkah judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). "Dan ketika proses ini berlangsung, akan terus dikawal kaum buruh melalui aksi unjuk rasa," tuntasnya. (war/fud/ema)