Antara Interaksi, Miskonsepsi, dan Dilema Tugas Mandiri

- Sabtu, 31 Oktober 2020 | 07:06 WIB
Penulis: Hafiz Anshari S.Si, S.Pd
Penulis: Hafiz Anshari S.Si, S.Pd

Fenomena seorang siswa gantung diri, diduga karena mengalami stres akibat banyaknya tugas sekolah online, menyita perhatian masyarakat (Republika.co.id, 28 Oktober 2020). Para praktisi pendidikan wajib mengevaluasi pola pembelajaran, yang semestinya menekankan pada esensi interaksi yang positif. Inti dari setiap kegiatan pembelajaran adalah interaksi antara siswa dan gurunya. Peran pembelajaran online yang sebenarnya sangat luas, menjadi menyempit, hanya dipahami sebagai media mengerjakan tugas sekolah, tanpa adanya interaksi antara keduanya di dalamnya.

=========================
Oleh: Hafiz Anshari S.Si, S.Pd
Guru Fisika SMA Negeri 1 Kelumpang Hilir Kotabaru
=========================

Pembatasan interaksi sosial dan fisik sebagai langkah mengantisipasi penyebaran Covid-19 yang kini telah melanda, memaksa terjadinya perubahan pola interaksi masyarakat, termasuk di bidang pendidikan.
Dalam sebuah institusi pendidikan, pengumpulan manusia pada ruang kelas menjadi keharusan. Karena proses belajar mengajar membutuhkan interaksi langsung antara guru dan siswanya, yang kini dianggap sebagai kegiatan berisiko penyebaran Covid-19 yang dapat menyebar melalui sentuhan, bahkan percikan. Pemerintah dan pihak terkait bergerak cepat dengan menginstruksikan untuk meliburkan sekolah, dan mengganti kegiatan konvensional di kelas, menjadi pembelajaran yang berbasis online.

Adanya Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19) oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, menjadi dasar bagi insan pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan di masa darurat ini. Surat edaran ini dengan jelas menyebutkan bahwa belajar dari rumah dapat dilaksanakan melalui pembelajaran daring atau jarak jauh. Walaupun tetap mempertimbangkan minat dan kondisi masing-masing daerah.

Setelah sebelumnya beberapa daerah dan provinsi yang terlebih dahulu meniadakan pembelajaran di sekolah, kini dengan surat edaran ini, maka kegiatan pembelajaran jarak jauh berlaku secara nasional. Para pendidik di daerah-daerah yang telah “meliburkan” sekolah, bergerak cepat melaksanakan edaran ini, tak terkecuali pendidik di Kalimantan Selatan.

Perubahan pola pembelajaran yang mendadak dan signifikan ini, ternyata ditanggapi beragam oleh banyak pihak, dari pendidik, para siswa, hingga orang tua siswa. Beberapa guru dan siswa yang memang sudah terbiasa menerapkan Technolgical Pedagogical Content Knowledge (TPACK) dalam pembelajaran (termasuk moda online di dalamnya) sebagai pelengkap (atau bahkan yang utama) dalam proses pembelajaran sehari-hari, tidak mengalami kesulitan ketika kondisi darurat ini harus diterapkan secara penuh.

Penulis yang merupakan guru di sekolah menengah atas, melihat rekan-rekan guru membentuk komunitas sosial digital dengan para siswa, saling bertukar informasi tentang moda pembelajaran online dengan sesama guru, dan meneruskannya kepada para siswa. Namun sisanya, pihak yang belum bersentuhan dengan ini (bisa jadi karena keterbatasan sarana dan fasilitas, atau hingga keterampilan TIK yang kurang), mengemukakan hambatan yang mereka hadapi.

Ditemukan fakta bahwa beberapa pengajar mengeluhkan kondisi jaringan yang kurang memadai, belum didapatkannya pelatihan terkait penggunaan unsur TIK dalam pembelajaran, materi yang dirasa sulit untuk diajarkan tanpa pertemuan tatap muka seperti biasa, hingga persepsi karakteristik usia siswa yang tidak semua cocok untuk penggunaaan TIK yang kompleks. Dari sisi siswa, terdapat keluhan akan keterbatasan fasilitas gadget, kuota internet, hingga motivasi belajar mandiri yang lebih rendah dibanding pembelajaran konvensional.

Salah satu permasalahan muncul ketika adanya keluhan yang beredar di media sosial dari kalangan siswa, orang tua, hingga pemerintah daerah sendiri. Fenomena seorang siswa yang gantung diri diduga karena mengalami stress akibat banyaknya tugas sekolah daring, menyita perhatian masyarakat.
Bisa jadi, kejadian ini hanyalah puncak gunung es dari tekanan psikis yang dirasakan para siswa yang mengikuti pembelajaran online di Indonesia. Melihat kasus ini, penulis setuju dengan pernyataan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo (jpnn.com/22 Maret 2020); “murid-murid jangan dibebani dengan tugas-tugas yang rata-rata, mereka komplain ke saya, bukan justru belajar metode daring, tapi guru memberi tugas-tugas yang banyak dengan “deadline yang mepet””.

Pernyataan itu bisa jadi muncul karena fakta di lapangan, banyak siswa terkejut dengan perubahan moda pembelajaran tatap muka yang berbeda dengan pembelajaran online. Atau bisa jadi muncul karena miskonsepsi tentang definisi pembelajaran online itu sendiri di kalangan pendidik. Miskonsepsi ini pun dapat mengarah pada instruksi yang rancu di kalangan stakeholder, sehingga tujuan pelaksanaan pembelajaran yang baik, justru menjadi masalah baru di masa darurat ini.

Penulis telah melakukan mini-survey tentang persepsi terkait pembelajaran online yang telah berlangsung beberapa hari sejak masa peliburan sekolah di Kalsel. Senada dengan pernyataan Gubernur Ganjar, mayoritas siswa menganggap pembelajaran online yang mereka jalankan tidak menyenangkan dengan banyaknya tugas mandiri. Beberapa guru yang diwawancara pun menjelaskan bahwa “pembelajaran online” yang mereka laksanakan adalah berbentuk pembagian tautan atau berkas berisi materi pembelajaran yang harus dipelajari secara mandiri oleh siswa dan dilanjutkan dengan pemberian tugas dengan tenggat waktu, yang semuanya dilaksanakan melalui Learning Management System (LMS) umum seperti Google Classroom, Edmodo, atau sekedar lewat Whatsapp Group bersama siswa. Mayoritas siswa tidak mendapat balikan tentang pekerjaan mereka tersebut, dan merasa tidak bersemangat untuk mengerjakan tugas-tugas online berikutnya.

Dari hasil ini penulis menyimpulkan bahwa kegiatan pembelajaran online yang diterapkan oleh sebagian responden pada masa darurat Covid-19 ini bukan merupakan pembelajaran online sebagaimana mestinya. Persepsi yang didapatkan oleh siswa justru pembelajaran online adalah rangkaian dari tugas-tugas mandiri, mempelajari materi yang belum mereka pahami secara mandiri, dan dikerjakan melalui moda online dan internet.

Pembelajaran online pada hakikatnya adalah salah satu jenis pembelajaran jarak jauh, yang terjadi melalui internet (bukan hanya di kelas seperti pembelajaran konvensional) (Stern, 2003). Sehingga sebenarnya, antara pembelajaran online dan konvensional, yang berbeda hanyalah moda atau medianya, di kelas tatap muka, dan tanpa tatap muka namun lewat internet.

Agar dapat disebut pembelajaran seutuhnya, apapun moda nya, komponen-komponen utama pembelajaran haruslah tetap ada di dalam kegiatan yang dilakukan. Dalam proses pembelajaran, guru dan siswa merupakan dua komponen yang tidak bisa dipisahkan. Antara dua komponen tersebut harus terjalin interaksi yang saling menunjang agar hasil belajar siswa dapat tercapai secara optimal.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Rem Blong, Truk Solar Hantam Dua Rumah Warga

Kamis, 28 Maret 2024 | 19:00 WIB

Masalah Pendidikan Jadi Sorotan Ombudsman

Kamis, 28 Maret 2024 | 16:50 WIB

Gempa 3,3 Magnitudo Guncang Kotabaru

Kamis, 28 Maret 2024 | 15:58 WIB

Januari hingga Maret, 7 Kebakaran di Balangan

Selasa, 26 Maret 2024 | 15:35 WIB
X