Rocky Gerung: Korupsi di Kalsel Mungkin Seperti OTG

- Senin, 2 November 2020 | 11:49 WIB
DARI RUMAH: Denny Indrayana menjadi narasumber dalam webinar bertema
DARI RUMAH: Denny Indrayana menjadi narasumber dalam webinar bertema

AMUNTAI - Masalah korupsi dan oligarki tak habisnya dibicarakan. Di antara sejumlah persoalan mendasar yang dihadapi saat ini, dua hal tersebut menjadi akar dari rusaknya sistem pemerintahan. Sehingga tak mampu memberikan keadilan, serta kemakmuran bagi rakyat. 

Di tengah sosialisasi kepada masyarakat di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Calon Gubernur Kalsel Denny Indrayana menjadi narasumber dalam webinar bertema "Kalsel di Tengah Pusaran Korupsi dan Cengkraman Oligarki Jilid-2"". Agenda ini digelar Integrity Law Firm, Jumat (30/10) malam.

Acara juga menghadirkan pengamat politik 'akal sehat' Rocky Gerung dan pakar hukum tata negara, Refly Harun. Sejak awal webinar berlangsung, berbagai analisa terkait korupsi dan oligarki di Kalsel menjadikan diskusi dipandu Tareq Elven ini berlangsung menarik.

Sebagai pembuka diskusi, Haji Denny, panggilan Denny Indrayana membuka paparan dari pernyataan mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto yang menyebut Kalsel peringkat nomor 1 untuk contoh terburuk korupsi sumber daya alam (SDA).

"Sebenarnya saya agak surprise dengan pernyataan BW (Bambang Widjojanto). Karena secara kuantitatif, Provinsi Riau justru menjadi hattrick dengan ditangkapnya tiga gubernur oleh KPK. Tapi meski dari kuantitatif di Kalsel tidak ada pejabat yang ditangkap, selain kasus di Hulu Sungai Tengah, bukan berarti kasus korupsi tidak ada. Ini seperti disampaikan mantan jubir KPK Febri Diansyah dalam webinar sebelumnya," kata pegiat antikorupsi ini.

Haji Denny yang juga pakar hukum tata negara ini mengatakan, rendahnya sisi kuantitatif korupsi bisa jadi memendam sisi kualitatif. "Jadi bukan tidak ada. Tapi secara kualitas memang pintar berkelit dari penegakan hukum. Hal itu bisa terjadi jika aparat hukum bagian dari masalah," katanya.

Jika pernyataan BW diambil sebagai tolak ukur, tidak adanya persoalan korupsi oleh kepala daerah, justru karena kemampuan memanfaatkan lubang hukum. Pelaku ada relasi kolutif, dan ini semakin membuat rumit persoalan," ungkap Wamenkum HAM era Presiden SBY ini.

Haji Denny menilai, bisa jadi kasus di Riau, gubernurnya tidak memiliki kemampuan yang licin untuk adaptasi dengan berbagai kepentingan. Sebaliknya di Kalsel, kolaborasi kekuasaan dengan pemodal besar memungkinkan bisa meredam dari aspek hukum.

Jika benar demikian, maka tentunyaKalsel lebih hebat. Sehingga angka kualitatif korupsi tidak setinggi di Riau. "Ini penting disampaikan agar Kalsel tidak terlena. Karena tidak ada yang jadi pasien KPK, bukan berarti tidak ada kasus," katanya.

Hal itu juga pararel dengan kajian KPK. Bahwa potensi korupsi di daerah yang kaya SDA lebih rentan terjadi. Apalagi, hampir semua orang kaya di Indonesia memiliki bisnis dan kepentingan dengan Kalsel.

"Kajian KPK menyatakan daerah yang kaya biaya politiknya otomatis tinggi. Saya bicara dengan salah satu kontestan pada pilkada sebelumnya, sampai menghabiskan anggaran hingga Rp 500 miliar. Ini rekor tertinggi untuk biaya pilkada," ucapnya.

Pertanyaannya, kenapa sedemikian besar? Karena ada kekuatan modal yang ingin mengamankan bisnis di Kalsel. "Dan Rp 500 miliar adalah investasi untuk mengamankan bisnis. Kalau angkanya sebesar itu, bisa dibayangkan potensi profit yang ada. Ini menjadi perhatian pemilu kita mengantisipasi pemodal yang masuk ke kepala daerah. Karena jika terpilih, kepala daerah akan diatur kekuatan modal," ujarnya.

Dalam kasus seperti inilah, wacana pelestarian Meratus menjadi gerakan perlawanan publik. Haji Denny menyatakan menolak keras penambangan di Pegunungan Meratus, karena itu titik menegaskan komitmen pelestarian alam di tengah arus kapitalisasi politik. "Mesti ada demarkasi karena yang terjadi bukan keuntungan buat Kalsel, tapi kerusakan alam yang tidak bisa dikembalikan, " tegasnya.

Di sisi lain, pengamat politik Rocky Gerung menyampaikan hal menarik. Katanya, tidak munculnya kasus korupsi di Kalsel bisa menjadi indikasi seperti istilah Covid-19, Orang Tanpa Gejala (OTG) korupsi. Bukannya tidak ada, tapi gejalanya tak terdeteksi. "Saya surprise tidak ada kasus korupsi yang terjerat di Kalsel, tapi bisa jadi ini OTG, orang tanpa gejala korupsi," ujarnya.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

X