Evaluasi Pendidikan Jarak Jauh

- Kamis, 12 November 2020 | 14:56 WIB
Penulis: Isnaini Shaleh
Penulis: Isnaini Shaleh

Ketika pandemi melanda, salah salah satu sektor yang terpukul dan harus segera membenahi sistem adalah sektor pendidikan. Sistem tatap muka yang selama ini dilaksanakan harus segera dihentikan, karena pandemik tidak memungkinkan untuk sekolah tatap muka. Akhirnya Kemdikbud memberlakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dengan sistem dalam jaringan (Daring) dan itu berimbas kepada peserta didik, guru, dan orang tua.

=======================
Oleh: Isnaini Shaleh
Guru di SMPN 1 Kandangan
=======================

Peserta didik harus “diliburkan” dan belajar dari rumah, sekolah tutup, guru tidakberhadir ke sekolah, orang tua menjadi guru pribadi bagi anak-anaknya di rumah. Kebijakan PJJ merupakan salah satu yang terbaik dari sekian skenario buruk. PJJ diterapkan untuk memastikan pembelajaran tetap terjadi.

PJJ diterapkan dengan berbagai polemik antara hak mendapatkan pendidikan dan risiko kesehatan warga sekolah. PJJ secara teori bisa menjadi penengah di antara hak pendidikan dan hak kesehatan.

Tetapi praktik di lapangan tidak semanis teori. Kendala ternyata mulai berdatangan, dari ketidaksamaan infrastruktur antarwilayah, kekreativitasan sumber daya manusia (SDM), dalam hal ini guru, dan daya ekonomi orang tua peserta didik dalam menyediakan kuota dan akses internet menjadi bagian terbesar dari kendala PJJ.

Kendala PJJ tidak hanya berwujud ekonomi, sarana, dan SDM saja. Namun ada hal lain yang juga menyergap para pendidik. Perubahan model tatap muka menjadi tatap virtual malah menimbulkan dugaan liar. Betapa nyamannya menjadi guru di masa pandemik. Memberikan tugas melalui daring, lalu “ungut-ungut” sambil minum kopi. Bahkan dugaan yang lebih ekstrem, guru makan gaji buta. Kata-kata itu bahkan pernah viral di media sosial dan berujung pada pelaporan kepada pihak berwajib.

Apakah salah menduga semacam itu? Tidak juga, karena mereka hanya melihat dari sisi kehadiran dan sekolah tanpa aktivitas warga sekolah. Bagi guru, terutama penulis, dugaan semacam itu lebih kepada keterkejutan orang tua siswa terhadap sistem PJJ yang menyita waktu mereka. Kalau di masa normal, anak-anak mereka dari jam 07.00 hingga 15.00 sibuk di sekolah, kini harus mayoritas hanya berdiam dan belajar di rumah.

Dan, kini metode PJJ semakin terpuruk karena dianggap menjadi salah satu sumber permasalahan mental peserta didik. Peserta didik menjadi depresi dengan banyaknya tugas yang diberikan. Bahkan di Gowa, Sulawesi Selatan, seorang siswi SMA ditemukan terbujur kaku setelah meminum racun pembasmi serangga. Diduga dia stres karena beban tugas sekolah yang banyak.

Mengevaluasi PJJ

Setiap metode tentu punya kekurangan dan kelebihan, begitu juga PJJ yang selama ini dilaksanakan sekolah dalam menyikapi pendidikan di masa pandemi. Dengan segala kelebihan PJJ tentu ada hal lain yang seharusnya menjadi bahan untuk evaluasi pelaksanaannya.

Pertama, perlunya standar tugas. Dalam pelaksanaan PJJ memang tidak ada aturan rinci tentang bagaimana tugas harus diberikan. Kalau setiap guru dalam pertemuan mereka memberikan tugas, maka dalam seminggupeserta didik akan menerima 11 tugas dari 11 mata pelajaran yang berbeda dan itu berlaku sepekan. Pemberian tugas di masa pandemik ini juga entah kenapa bisa lebih banyak daripada masa normal sehingga kadang kala orang tua harus ikut mengerjakan. Hal itu tentu akan membebani pikiran peserta didik dan orang tua, hal demikian perlu diberikan solusi agar kemudahan memberikan tugas pada learning ManagementSystem (LMS) harus sejalan dengan beban tugas yang diterima peserta didik.

Kedua, menguatkan peran wali kelas dan guru BK. Di masa pandemik seperti ini tentu anak-anak suka berkeluh-kesah bahkan kadang kala mereka tidak meminta solusi, tetapi hanya perlu teman untuk mendengarkan.Maka peran wali kelas dan guru BK sangat menentukan dalam hal itu, mereka harus bisa menjadi teman dan sahabat mereka. Mereka juga harus mampu mengidentifikasi kesulitan peserta didik dan mencarikan jalan keluar yang dihadapinya agar mereka tidak terjebak dalam pikiran dan tindakan yang keliru.

Ketiga, peran orang tua. Karena peserta didik lebih banyak belajar di rumah maka peran orang tua tidak bisa diabaikan. Mereka harus bisa menciptakan zona aman dan nyaman bagi anak-anak. Suasana tidak nyaman bagi orang tua mungkin dirasa tidak terlalu masalah namun akan berbeda ketika itu dirasakan oleh seorang anak. Membiarkan situasi tidak aman dan tidak nyaman semakin berlarut dapat membahayakan kondisi mentalnya. Problematika dalam mendidik anak di rumah harus dibicarakan dengan sekolah apabila itu berhubungan dengan tugas pembelajaran. Kerja sama orang tua dan sekolah sangat diperlukan untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan.

PJJ memang bukan solusi maksimal untuk pendidikan yang berkualitas, tetapi tetap menjadi salah satu usaha terbaik pemerintah agar peserta didik tetap mendapatkan hak pendidikan, sekaligus memeroleh hak kesehatan. Mari bersama-sama -pemerintah, sekolah, dan orang tua, membangun sinergitas pendidikan yang aman dan nyaman bagi anak-anak agar mereka bisa melewati masa sulit. Dan tentu saja berdoa agar sekolah bisa kembali melakukan tatap muka. Apapun metode yang dipilih dalam melaksanakan pembelajaran adalah pilihan terbaik yang bisa diberikan sekolah kepada peserta didiknya. (*/ema)

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

X