Fenomena Pelajar dan Unjuk Rasa

- Jumat, 13 November 2020 | 11:44 WIB
Penulis: Susanto
Penulis: Susanto

Sebagai dampak perkembangan teknologi jika tidak dibarengi dengan perkembangan kecakapan berpikir, maka rentan terjadinya ketimpangan yang mengakibatkan disinformasi yang berujung pada merebaknya hoax yang justru dapat memecah belah bahkan dapat menimbulkan kekacauan dikalangan masyarakat.

=================
Oleh: Susanto
Staff Kantor Hukum Perisai Keadilan Nusantara
=================

Kebijkasanaan dalam mencerna informasi dapat dilakukan masyarakat, terutama anak muda saat ini, jika diimbangi dengan pengtahuan terutama tentang isu yang sedang dihadapi akhir-akhir ini. Di sisi lain, dengan adanya pandemi saat ini tentu memaksa perpolitikan dalam negeri pun menyesuaikan dengan keadaan, yang justru sering mendapatkan penolakan dari berbagai pihak dengan berbagai macam alasan yang salah satunya ialah ketidaktransparanan legislatif ataupun eksekutif dalam hal ini. Namun yang menjadi perhatian penulis ialah aktor yang melakukan penolakan yang tidak jarang berujung pada unjuk rasaya itu aktor pelajar.

Terkait dengan aktor pelajar. Kebebasan berpendapat memang dikawal oleh kontitusi kita, dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (3) berbunyi yaitu bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikan, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Diksi berhak mengeluarkan pendapat di sini hemat penulis bukan berarti tanpa dasar dalam setiap orang mengeluarkan pendapat atau dalam arti lain dalam mengeluarkan suatu pendapat harus didasarkan dengan alasan yang jelas dan setidaknya mengetahui seluk beluk permasalahan yang sedang dihadapi oleh orang tersebut.

Jika disandingkan dalam beberapa aksi unjuk rasa akhir-akhir ini, seperti dalam unjukrasa Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja, RUU KPK, RUU KUHP muncul aktor-aktor baru yang dalam hal ini ikut serta dalam mengeluarkan pendapatnya yaitu dari kalangan pelajar. Dengan turunnya aktor baru tersebut secara tidak langsung menyampaikan pesan baik untuk Ibu Pertiwi bahwa ini merupakan salah satu bentuk kemajuan demokrasi daripada bangsa kita. Kepedulian terhadap perkembangan bangsa ini sudah menjamah pada anak-anak muda, bahkan setingkat pelajar dan akan menjadi suatu aset yang besar bagi bangsa kita jika kepedulian ini dirawat dan dimanajemen dengan baik oleh pihak terkait. Sedangkan kabar buruknya ialah Sebagaimana yang penulis kumpulkan diberbagai media massa mengatakan bahwa Sebagian besar dari pelajar tidak mengetahui alasan berunjuk rasa dan pokok permasalahan yang mereka permasalahkan pun mereka juga belum begitu paham betul.

Menghadapi fenomena ini, jika terus-terusan menggunakan kacamata dengan perspektif yang mengatakan bahwa pelajar telah termakan hoax sehingga menimbulkan kekacauan dan harus diamankan oleh pihak berwajib merupakan suatu kerugian besar jika terus dilakukan. Karena bukan pelajarnya yang mesti disalahkan ataupun ditangkap atas perbuatannya, melainkan kacamata pihak terkaitlah yang mesti diganti sehingga melihat ini sebagai potensi, bahkan aset untuk negeri ini di kemudian hari.

Di sisi lain, dalam UU Perlindungan Anak yang dimaksud dengan anak ialah mereka yang belum berumur 18 tahun. Artinya sebagian besar pelajar dalam melakukan segala tindakannya dikawal oleh UU Perlindungan Anak, dan pada pasal 2 UU ini menyebutkan asas yang berbunyi “Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi non-diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk tumbuh, kelangsungan hidup dan perkembangan, dan penghargaan terhadap pendapat anak.

Sehingga, kepedulian terhadap negeri yang sudah menjamah ke tingkat pelajar mesti dirawat dengan baik dan dijaga agar tetap subur, dengan cara memasukkan Kurikulum Pengantar Ilmu Hukum ke tingkat pelajar yang mencakup mengenai dasar pengatahuan hukum. Seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum tata negara, dan hukum administrasi negara. Sehingga pelajar dapat memahami konsep bernegara kita dengan lebih baik.

Bukankah itu juga termasuk dalam menjalankan amanat dari UUD 1945 dan sebagaimana asas yang telah dituliskan dalam UU Perindungan Anak. Salah satu bentuk kepentingan terbaik bagi anak ialah kedewasaan dalam berpikir, dan untuk menjamin keberlangsungan perkembangan anak adalah mengarahkan, bukan dengan menangkap ketika anak melakukan unjukrasa.

Sebagai penutup, Indonesia Legal Rountable menjelaskan bahwa setidaknya terdapat lima prinsip dan indikator makna negara hukum. Yaitu, pertama pemerintahan berdasarkan hukum, dengan indikator adanya keseimbangan di antara cabang-cabang keuasaan eksekutif, legislatif. Kedua, independensi kekuasaan kehakiman dengan indikator pelaksana dan organisasi kekuasaan kehakiman itu sendiri. Ketiga, penghormatan, pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, dengan indikator kebebasan untuk berserikat, berkumpul serta menyatakan pendapat, kebebasan beragama dan berkeyakinan, perlakuan yang tidak diskriminatif, hak untuk hidup dan bebas dari penyiksaan, hak atas pekerjaan, upah yang layak dan pendidikan.

Keempat, akses terhadap keadilan, dengan indikator peradilan yang mudah, cepat dan berbiaya ringan, bantuan hukum kepada warga yang tidak mampu, perlindungan korban, pelapor dan kompensasi kepada yang dinyatakan bersalah secara keliru. Kelima, peraturan yang terbuka dan jelas, dengan indikator mengikutserakan tekanan publik dalam pembuatan peraturan, kejelasan materi peraturan dan akses terhadap peraturan perundang-undangan itu sendiri. (*)

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Pertanyakan Konsistensi Dinas PUPR

Selasa, 23 April 2024 | 08:45 WIB
X