Inisiatif Kota Kesehatan dalam Sejarah Pandemi

- Senin, 16 November 2020 | 15:17 WIB
Penulis: Haris Zaky Mubarak, MA
Penulis: Haris Zaky Mubarak, MA

Selama pandemi Covid-19, kasus jumlah penderita di perkotaan jauh lebih tinggi daripada perdesaan. Hal ini dapat dipahami karena kawasan perkotaan memiliki kepadatan penduduk yang besar, menyebabkan lahirnya persentase yang tertular juga lebih banyak. Di sisi lain mobilitas manusia di perkotaan yang tinggi juga menyebabkan volume kecepatan penularan Covid-19 menjadi sangat pesat berkembang.

==========================
Oleh: Haris Zaky Mubarak, MA
Sejarawan dan Direktur Jaringan Studi Indonesia
==========================

Jika meninjau dari hubungan kausalitas antara kesehatan dan tempat tinggal. Kota dan kesehatan faktanya memegang peranan penting terhadap ruang pemulihan kesehatan dan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Fenomena kota di tengah pandemi telah menciptakan sudut pandang baru untuk melakukan dekonstruksi terhadap pemahaman penataan kota supaya selalu sehat dan berkualitas.

Berangkat pengalaman pandemi Covid-19, pembangunan kota harus memasukkan protokol kesehatan dalam desain pengembangan infrastruktur kesehatan masyarakatnya. Pelibatan ahli kesehatan menjadi penting dalam tahapan perencanaan dan perancangan kota - kota sehat di Indonesia. Karenanya tantangan kota selama masa pandemi ini adalah menyediakan fasilitas dan akses kesehatan yang relevan bagi seluruh masyarakat kota.

Pengalaman Sejarah

Kehadiran wabah Covid-19 jelas merupakan ancaman nyata terhadap kota. Dalam situasional ini, kota harus memiliki strategi yang tepat untuk bertahan kala wabah. Kota juga dituntut membangun infrastruktur kesehatan masyarakat yang layak dan berkualitas. Secara lebih khusus, kota harus mempertahankan kelangsungan hidup yang luas untuk menghadapi semua kemungkinan risiko wabah atau kebencanaan lainnya.

Meninjau masifnya dampak Covid-19 di perkotaan selama ini, maka dapat kita simpulkan bahwa persebaran penularan virus terjadi bersamaan dengan mobilitas manusia. Konsekuensi itu pun memunculkan kebijaksanaan untuk mengubah sebagian besar ruang publik perkotaan dimana manusia harus saling berjarak supaya penularan virus dapat dikendalikan.

Dalam sejarah penataan kota di masa lalu, Batavia sebagai ibukota Hindia Belanda pernah punya masalah kesehatan dan lingkungan yang parah pada abad ke-18. Sanitasi dan sistem drainasenya buruk menyebabkan masifnya persebaran penyakit mematikan seperti penyakit malaria, disentri, dan kolera. Besarnya angka kematian masyarakat kota pun terus meningkat. Hal ini membuat Batavia mendapatkan  julukan sebagai “Ratu dari Timur” yang kerap diplesetkan oleh masyarakat pribumi sebagai “Kuburan dari Timur”.

Buruknya kondisi kesehatan Kota Lama Batavia itu pula yang mendorong Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811) pernah memindahkan pusat pemerintahan dan militer ke daerah Weltevreden atau daerah Gambir dan sekitarnya. Namun, situasi di wilayah ini pun beranjak memburuk. Kondisi yang tak sehat itu menarik perhatian Hendrik Freerk Tillema—ahli kesehatan lingkungan yang berdinas di Semarang untuk menulis studi komprehensif tentang buruknya kondisi kesehatan kota-kota di pesisir utara Jawa, termasuk Batavia pada tahun 1913.

Sejak merebaknya beragam wabah pandemi awal abad ke-20 perhatian pemerintah Belanda terhadap penataan kota terus meningkat, terutama dalam mengontrol penyakit epidemik seperti kolera dan pes yang merebak di Batavia sampai tahun 1920-an. Untuk menanganinya Hindia Belanda berhasil memerintahkan Burgerlijke Geneeskundigde Dienst (Dinas Kesehatan Publik) untuk membentuk sistem pemberantasan pes.

Dalam menata kota, pemerintah Hindia Belanda pada akhirnya mulai mengintensifkan kegiatannya dalam bidang kesehatan umum dan higienitas kota.

Tak jauh berbeda dengan realitas yang terjadi di ibukota, di wilayah Borneo Barat (West Afdeling van Borneo) yang berkedudukan di Pontianak dan Borneo Selatan-Timur (Zuider en Oosterafdeling van Borneo yang berkedudukan di Banjarmasin juga merespons cepat situasi merebaknya beragam wabah pandemi pada tahun 1900-an. Sebuah evaluasi tata kota mulai diupayakan demi meminimalisir terjadinya korban pandemi seperti Pes dan Flu Spanyol.

Tercatat ada perubahan besar dalam konsep penataan kantor dan dimensi jalur ekonomi di beberapa wilayah seperti Sampit dan Sanggau. Dalam laporan koran Sin Po 13 Desember 1918, masifnya dampak Flu Spanyol di wilayah Sampit Kalimantan membuat banyak perkantoran tutup yang membuat pegawai kantor mulai merencanakan sebuah skematis perkantoran di dekat wilayah pelabuhan yang menjadi kawasan distribusi obat.

Sejak adanya wabah Flu Spanyol sentral ekonomi di Kalimantan juga sudah mulai mempertimbangkan adanya penataan irigasi kecil yang memberi jarak antara pedagang satu dengan lainnya dan mulai menerapkan sistem upah kebersihan pasar. Di beberapa wilayah Pasar Banjarmasin tahun 1919 akhir para pemimpin pasar sudah mulai berani mengambil langkah inisiatif untuk mempekerjakan para petugas kebersihan pasar. (Neratja, 11 Januari 1919). Hal ini mengindikasikan bahwa adanya wabah pandemi telah memberi kesadaran baru bagi evaluasi penataan kota berbasis kesehatan.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Banjarmasin Pulangkan 10 Orang Terlantar

Jumat, 26 April 2024 | 14:30 WIB
X