Netralitas ASN dan Pilkada

- Selasa, 17 November 2020 | 10:26 WIB
Penulis: Ach Fatori
Penulis: Ach Fatori

Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan hal yang seringkali dijadikan topik pembahasan khusus dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Dalam kata lain, persoalan netralitas menjadi isu yang terus menggelinding secara aktual tiap kali menjelang pelaksanaan pesta demokrasi, baik Pemilu maupun Pilkada. Tak terkecuali dalam Pilkada Serentak Tahun 2020 yang saat ini sedang memasuki tahap kampanye.

====================
Oleh: Ach Fatori
Mahasiswa Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
=====================

Dalam sejarah panjang Republik Indonesia, masalah netralitas ASN dalam pesta demokrasi memang telah terjadi sejak Pemilihan Umum (Pemilu) pertama tahun 1955. Meski pemilu tersebut dianggap sebagai pemilu paling sukses dan demokratis dalam sejarah di Indonesia. Kemudian pada masa Orde Baru, sangat nampak jelas ASN dimanfaatkan sebagai mesin politik untuk mendulang suara partai tertentu, dalam hal ini adalah partai penguasa pada Orde Baru.

Pasca Reformasi 1998, segala sesuatu yang berkaitan dengan ASN mulai diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. UU mengatur di antaranya berkenaan dengan netralitas ASN, yakni pada pasal 2 yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN dilaksanakan dengan berdasarkan berbagai asas, yang di antaranya asas netralitas. Pada penjelasannya, netralitas yang dimaksud adalah ASN dilarang berpihak dalam segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.

Selain itu, produk hukum lainnya yang menegaskan pentingnya netralitas ASN adalah Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 tentang Larangan Pegawasi Negeri Sipil (PNS) menjadi anggota partai politik. Serta Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Disusul dengan berbagai surat edaran Komisi Aparatur Sipil Negara hingga Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi.

Pelanggaran Netralitas ASN Tahun 2020 Masih Tinggi

Sudah banyak ahli dan hasil riset yang menyatakan beberapa faktor penyebab buruknya netralitas ASN. Di antaranya adalah motif patronase politik, adanya hubungan primordial, ketidakpahaman terhadap regulasi berkaitan dengan netralitas, hingga faktor adanya tekanan dari pihak lain, rendahnya netralitas ASN, dan sanksi yang diberikan tidak menimbulkan efek jera.

Buktinya pelanggaran netralitas ASN pada Pilkada Tahun ini masih relatif tinggi. Sebagaimana rilis Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang menyatakan sampai dengan 5 November 2020 tidak kurang dari 827 ASN dilaporkan telah melanggar netralitas. Mereka di antaranya telah terbukti melanggar dan telah mendapatkan rekomendasi dari KASN. Dan sebanyak 362 ASN sudah diberikan sanksi oleh pejabat pembina kepegawaian.

Artinya, berdasarkan angka pelanggaran netralitas ASN tersebut menunjukkan bahwa akar persoalan belum terjawab. Belum ada formulasi yang tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut, sekalipun regulasi dan sosialisasi hukum terus dilakukan berkenaan dengan netralitas ASN.

Jika ditarik pada konsepsi tentang pembatasan peran serta ASN, dimaksudkan untuk mencipatkan aparat yang bersih dalam upaya mewujudkan good governmance. Sebagaimana menurut Philipus M Hadjon bahwa ASN memiliki suatu hubungan hukum yang disebut dengan “openbare diensteberking” (hubungan dinas publik). Artinya adalah kewajiban bagi setiap ASN untuk tunduk pada pengangkatan dalam kewajiban bagi yang bersangkutan tidak menolak (menerima tanpa syarat).

Dalam penerapannya, hubungan dinas publik ini mewajibkan aparat pemerintah harus setia dan taat selama menjadi aparatur aparatur negara. Artinya selama menjadi apartur negara, mereka tidak dapat melaksanakan hak-hak asasinya secara penuh. Apabila dikaitkan dengan netralitas ASN, larangan untuk menjadi anggota partai politik ataupun terlibat aktif dalam politik praktis bukanlah suatu pelanggaran hak asasi manusia. Namun itu adalah konsekuensi dari adanya hubungan “openbare dienstbeterking”.

Menurut Hollyson dalam bukunya “Pilkada (Penuh Eforia, Miskin Makna)”, Budaya “Patron-Client” menjadi fakor dominan atas rendahnya netralitas ASN atau birokrat pada pemilihan. Patron sebagai pemimpin dan client sebagai anak buah, mereka berjalan atas dasar memiliki hubungan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualsime).

Dalam budaya tersebut, patron memposisikan diri sebagai pihak yang menyediakan atau menjanjikan jabatan tertentu kepada client. Sebagai bentuk balas jasa, maka client harus memberikan loyalitas serta dedikasinya kepada patron. Sehingga aparat bersifat terikat terhadap atasan yang beimplikasi terhadap setiap intruksi atasan sebagai Patron menjadi tolak ukur bagi aparat/birokrat dalam bersikap dan bertindak, termasuk memberikan dukungan dan mobilisasi masyarakat pemilih terhadap salah satu pihak calon kepala daerah.

Dalam upaya memberantas budaya patron-client tersebut dibutuhkan birokrasi masa depan yang berkarakter profesional. Profesionalisme yang perlu dibangun tidak hanya untuk meningkatkan kompetensi birokrasi dalam melayani masyarakat, tetapi juga yang dapat meningkatkan kemandirian birokrasi dalam menghadapi tekanan dan intervensi politik.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Pertanyakan Konsistensi Dinas PUPR

Selasa, 23 April 2024 | 08:45 WIB
X