Antara Pilkada dan Pilkades, “Iki Piye”

- Jumat, 20 November 2020 | 11:10 WIB
PENULIS: JAMALUDDIN
PENULIS: JAMALUDDIN

Mungkin bagi sebagian orang isu ini sudah basi. Tapi bagi saya tidak ada kata basi dalam setiap keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerinah. Terutama soal Pilkada dan Pilkades 2020.

=====================
Oleh: JAMALUDDIN
Jurnalis Radar Banjarmasin
=====================

Saya tidak habis pikir dengan pernyataan Mendagri Tito Karnavian. Pak Tito memutuskan menunda pemilihan kepala desa (Pilkades) dan akan melaksanakannya setelah Pilkada 2020. Lagi-lagi saya dibikin bingung dengan alasan penundaan tersebut.

Pak Tito menyebut pilkades ditunda karena alasan pandemi Covid-19 belum selesai. Dalihnya akan menimbulkan penularan virus apabila dilakukan tanpa protokol kesehatan yang ketat. Pernyataan itu ia sampaikan dalam rapat koordinasi pusat dan daerah terkait perubahan kedua atas Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa, belum lama tadi.

Lantas siapa yang bisa menjamin saat pilkada nanti penularan virus tidak terjadi? Apakah pemerintah berani menjamin? Boro-boro kasih jaminan, sekarang pemerintah lagi sibuk membangun opini publik supaya Indonesia terlihat baik-baik saja. Cukup dengan kampanye 3M, memakai masker, menjaga jarak, dan menghindari kerumunan. Yang penting sudah bekerja dan ada hasil daripada tidak sama sekali.

Tentu saya tahu, ini bukan semata-mata keputusan mantan jenderal polisi yang pensiun dini itu. Banyak saran dan kritikan sebelum memutuskan hal tersebut. Namun poinnya bukan itu. Jika alasan penundaan pilkades adalah pandemi Covid-19 yang belum usai, lantas apakah pilkada tidak digelar di tengah pandemi juga?

Ayolah! Rakyat sudah semakin cerdas. Saya menduga “kepentingan” pilkada tentu lebih besar ketimbang pilkades, makanya pilkada menjadi prioritas. Tentu orang yang mendukung pilkada bisa membela. Pilkada itu sudah ditunda sebanyak tiga kali.

Harusnya dimulai bulan Juli 2020, namun ditunda karena Covid-19 mulai menyebar di daerah-daerah. Dijadwalkan lagi bulan September 2020, namun angka terkonfirmasi Covid-19 semakin melejit. Akhirnya disepakati digelar 9 Desember 2020 dengan menggunakan protokol kesehatan.

Kalau pilkada saja bisa menggunakan protokol kesehatan, kenapa pilkades tidak? Maaf ya pak, bukannya saya antagonis, tapi menurut saya alasan penundaan pilkades itu kontradiktif dengan pelaksanaan Pilkada 2020.

Sesuai jadwal, harusnya pilkades dilaksanakan bulan November 2020, kemudian diundur ke tahun 2021, tanpa menyebut waktu yang pasti. Oh jelas pilkades harus ditunda karena belum ada peraturan pelaksanaan pilkades di tengah pandemi.

Pak Tito! Bikin saja peraturannya, seperti peraturan yang mengatur pilkada. Kenapa? Pemerintah terlalu sibuk mengurus Pilkada 2020 dengan desain yang baru. Atau pemerintah sibuk fokus untuk menangani resesi. Jadi harus mengorbankan pilkades dan memilih pilkada.

Kalau pilkades ditunda harusnya pilkada juga. Jangan pilih-pilih. Toh peraturan pelaksanaan pilkada di tengah pandemi juga baru saja dibuat dengan sistem dadakan (tidak ada yang mengetahui kalau Covid-19 akan muncul).

Artinya, jika pilkada bisa kenapa pilkades tidak? Kalau masalahnya soal anggaran tentu pilkada sudah menguras anggaran negara banyak. Apalagi logistik pilkada sekarang itemnya berbeda dengan tahun sebelumnya. Seolah pilkada ini dipaksakan. Dipaksakan demi terpenuhinya kursi kepala daerah untuk tujuan dan kepentingan mereka, bukan kepentingan rakyat.

Bapak-bapak menteri yang terhormat dan Presiden Jokowi, rakyat jangan kalian jadikan sebagai “tumbal”. Katanya kesehatan rakyat lebih utama. Katanya kesehatan rakyat lebih penting dari segala aspek? Sudahlah, jangan lagi bersembunyi di belakang Covid-19. Dengan ditundanya pilkades dan dilanjutkannya pilkada, memperlihatkan jika pemerintah punya agenda khusus.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Banjarmasin Pulangkan 10 Orang Terlantar

Jumat, 26 April 2024 | 14:30 WIB
X