BULAN ini, dua kali saya teringat kepada Pak Misbach.
====================
Oleh: Syarafuddin
Editor Halaman Metropolis Radar Banjarmasin
====================
Pertama, sehabis membaca Amba karya Laksmi Pamuntjak. Novel berlatar sejarah yang terbit tahun 2012.
Tokoh utama cerita, Amba Kinanti dan Bhisma Rashad, naik becak menuju Sanggar Bumi Tarung di Yogyakarta. Dalam suasana ketidakpastian setelah 30 September 1965 meletus.
Pasangan ini dipisahkan pergolakan politik. Amba hamil. Dan Bhisma, dokter lulusan Universitas Karl Marx di Leipzig, dibuang ke Pulau Buru.
Saya pertama kali mendengar tentang Bumi Tarung dari Pak Misbach. Dia salah seorang pendirinya.
Kedua, saat Metropolis edisi Rabu (25/11) menurunkan feature tentang pameran Membaca Misbach di Bengkel Lukis Sholihin.
Ada 23 lukisan dipamerkan. Empat di antaranya karya Pak Misbach. Dibuka sampai 28 November, silakan pembaca mengunjungi pameran di Taman Budaya Kalsel tersebut.
Saya pertama kali bertemu Pak Misbach tiga tahun silam, September 2017.
Latar belakang, publik sedang bersemangat memutar ulang Penumpasan Pengkhianatan G30S-PKI. Disutradarai Arifin C Noer, film itu dirilis tahun 1984
Zaman Orde Baru, saban tahun film itu diputar TVRI. Selepas reformasi, penayangannya disetop karena dituding sarat propaganda.
Entah siapa yang memicu nostalgia itu. Saya ingat, Lapangan Murjani di Banjarbaru disesaki warga. Duduk lesehan, penonton dengan sabar menanti bioskop misbar itu dibuka.
Hampir serentak, film berdurasi 4 jam 31 menit itu diputar di banyak kota dan kabupaten.
Di tengah histeria tentang hantu komunis, redaksi Radar Banjarmasin malah bertekad mengangkat kisah Misbach Tamrin.
Pagi itu, saya berdiri dengan galau di depan rumah Pak Misbach. Rumah sederhana dengan kolam ikan di Jalan Simpang Dharma Budi.
Di depan pintu, saya jelaskan tentang maksud wawancara. Pak Misbach tampak enggan. Wajar, suasana sedang tak nyaman. Saya datang pada waktu yang salah.
Syukur, akhirnya ruang tamu dibuka. Berkat obrolan seputar Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer dan Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa.
Pak Misbach pun tenang. Menurutnya, bacaaan itu bisa menuntun saya untuk menghindari bias.
Melirik ke rak bukunya, ada Tafsir Al Mishbah karya Quraish Shihab dan terjemahan Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali.
Jadi, siapa sebenarnya Misbach? Lahir di Amuntai 79 tahun silam, ia bersekolah di Banjarmasin. Tahun 1959 berangkat ke Jogja untuk kuliah di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia).
Terkesan oleh pidato-pidato Bung Karno, Bumi Tarung didirikan. Amrus Natalsya sebagai ketua sanggar, Pak Misbach menjadi juru bicara. Sanggar ini pameran perdana di Jakarta pada 1962.
Bumi Tarung kemudian menyatakan berafiliasi dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Yang dicap sebagai underbow PKI (Partai Komunis Indonesia). Tudingan yang ditertawakan Pak Misbach.
Tahun 1964, Pak Misbach pulang kampung. Mudik itulah yang menyelamatkannya. Karena pembasmian orang merah di sini tak sebrutal yang terjadi di Jawa dan Bali.
Sebulan bersembunyi di hutan, ia tertangkap hansip kecamatan. Antara 1965 sampai 1978, Pak Misbach menjadi tahanan politik. Berpindah-pindah dari penjara di Tanjung dan Liang Anggang.
Pak Misbach beruntung. Karena tiga kawannya di Bumi Tarung dieksekusi. Enam lainnya dibuang ke Pulau Buru.
Tahun 2008, bersama yang tersisa, Bumi Tarung menggelar pameran di Galeri Nasional Jakarta.
Untuk sesi pemotretan, Pak Misbach mengajak ke studio lukis di lotengnya. Dia sedang mengerjakan lukisan Jenderal Besar Soedirman, idolanya.
Setua itu, ingatan Misbach masih kuat. Sorot matanya tajam. Bicaranya lugas.
Setelah wawancara terbit, saya kembali ke rumah itu. Tiga kali mengucapkan salam tanpa balasan, saya pulang. Meninggalkan dua eksemplar koran di teras.
Tak lama, seorang anggota DPRD dan seorang pejabat pemko menceramahi saya tentang warisan Pak Harto dengan berapi-api.
Saya hanya diam. Mungkin malas berdebat, mungkin pula takut disangka kiri. Tapi merasa puas karena berita itu ternyata dibaca orang.
Februari 2019, kami bersua lagi dalam haul ke-58 Gusti Sholihin di Taman Budaya. Sholihin adalah guru melukis Pak Misbach.
Kami saling melempar senyum. Pak Misbach mungkin lupa. Dan saya terlalu malu untuk menyapa.
Sejujurnya, pengetahuan saya tentang seni rupa hanya sebatas ilustrasi yang dicetak pada kaus-kaus merchandise band metal. Penjabaran tentang lukisan dari Pak Misbach, masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.
Namun, saya menarik pelajaran lain. Kita bisa dipenjara, dipites, atau distigma. Tapi bukan berarti boleh bungkam. (*)