BANJARMASIN - Rancangan peraturan daerah (raperda) pengelolaan hutan berkelanjutan yang digodok DPRD Kalsel menuai penolakan.
Penolakan terungkap dalam uji publik raperda di Aula Ismail Abdullah DPRD, awal Desember ini.
“Raperda ini tidak melindungi masyarakat adat,” kata Direktur Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono.
Satu-satunya hutan di Kalsel yang tersisa adalah pegunungan Meratus. Sejak lama dikelola masyarakat adat. Terjaga hingga sekarang, berbeda sekali dengan pengelolaan pemerintah. “Makanya kami menolak raperda tersebut,” tambah Cak Kis, sapaannya.
Penolakan tegas juga disampaikan Ketua Aliansi Dayak Kalimantan Bersatu Nasional, Dehen. Menurutnya, raperda itu sama sekali tak menyentuh memberdayakan masyarakat dan hakhak adatnya. “Raperda itu tidak berpihak kepada masyarakat,” tegasnya.
Direktur Bidang Organisasi Kaderisasi dan Keanggotaan (OKK) Aliansi Masyarakat Adat, Hasan Efendy juga mengutarakan hal serupa. Harusnya sejak awal melibatkan masyarakat ada, jangan pas uji publik saja. “Pengelolaan hutan berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat adat. Sayang sejak awal justru tidak dilibatkan,” sindirnya.
Apa jawaban DPRD? Wakil ketua pansus, Zulfa Asma Vikra mengatakan, justru raperda ini demi hutan. Flora dan fauna di dalamnya. “Juga memberdayakan masyarakat sekitar hutan,” jelasnya. Dalam artian meningkatkan taraf ekonomi mereka, sembari menjaga budayanya.
Diingatkannya, hutan kritis di Kalsel sudah mencapai 511 ribu hektare. “Lambat laun hutan kritis
ini tertanam dan beberapa tahun akan ada pemulihan,” pungkas Zulfa.(gmp/fud/ema)