Duka dari Terowongan Tambang, ketika Keyakinan Para Penambang Tidak Sesuai Harapan

- Kamis, 28 Januari 2021 | 15:40 WIB
DUKA KELUARGA: Hujan air mata di KM 33 Mantewe. Satu-satu jenazah diangkut dari dalam terowongan. Dari pagi hingga petang. Total ada delapan, dua masih belum ditemukan. | FOTO: ZALYAN S ABDI/RADAR BANJARMASIN
DUKA KELUARGA: Hujan air mata di KM 33 Mantewe. Satu-satu jenazah diangkut dari dalam terowongan. Dari pagi hingga petang. Total ada delapan, dua masih belum ditemukan. | FOTO: ZALYAN S ABDI/RADAR BANJARMASIN

BATULICIN Prediksi dan keyakinan para penambang bahwa rekan mereka yang terjebak dalam terowongan masih dalam kondisi hidup karena berada di ketinggian, ternyata tidak seperti harapan. Rupanya para penambang yang tertinggal di dalam terowongan telah terjebak dalam lumpur dan tenggelam.

Proses evakuasi sendiri dinilai banyak pihak berjalan lamban sejak hari pertama. Penyebab utamanya adalah galian tambang terisi air hingga menutup mulut terowongan utama. Penyebab lainnya peralatan Basarnas yang tidak memadai.

Dandim 1022 Tanah Bumbu Letkol CPn Rahmat Trianto di lokasi tambang, Rabu (27/1) pagi berkali-kali mengeluarkan nada tinggi. Mulut terowongan sudah terlihat, tapi belum ada yang mau masuk. Karena keterbatasan oksigen dan alat selam. Rahmat pun memberanikan diri ambil keputusan, setelah berkoordinasi dengan para penambang manual di sana. Akhirnya, satu dua orang masuk. Dandim turun menggunakan perahu karet.

Dan baru lima meter penambang masuk dari mulut terowongan yang berair setinggi leher orang dewasa itu, terlihat mayat mengapung. Evakuasi pun dilakukan, jenazah ditarik menggunakan tali. Penambang dan petugas masuk lebih dalam. Air di dalam terowongan masih tinggi, diperparah dengan lumpur yang tebal. Sekitar 75 meter ke dalam, ketemu lagi dengan jenazah mengapung. Kondisinya sama dengan pertama, bengkak dan beraroma menyengat. "Sepertinya di hari pertama itu mereka memang tidak selamat," sesal Dandim Rahmat Trianto.

Jelang siang pencarian dihentikan. Air masih sangat tinggi di dalam terowongan. Tim Basarnas belum berani masuk terlalu jauh. Sementara itu di atas bukit, di mess pekerja, para keluarga korban menangis sejadi-jadinya. Info bahwa tidak ada yang selamat mulai beredar. "Sabar, bawa berzikir, doakan anak kita selamat," kata Arsyad kepada keluarganya.

Wajahnya pucat. Arsyad adalah salah satu dari dua belas penambang yang selamat. Dia dari Kuala Kapuas. Di hari nahas itu dia terpisah dengan anaknya, Putra Efendy. Pegangan tangan ayah dan anak itu terlepas ketika ada air bah masuk dengan tekanan yang keras ke dalam terowongan. Wajah-wajah keluarga penambang bengkak. Matanya merah. Semua berduka. Langit pun seolah sedih. Hujan lebat tiba-tiba datang ketika Zuhur.

Dandim dan beberapa wartawan istirahat siang di pusat Kecamatan Mantewe. Salat  Zuhur berjemaah diimami Dandim. Usai salat, pria asal Jambi itu lama berdoa. Balik ke tambang. Di bawah terjadi cekcok mulut seorang pekerja dengan petugas. Pekerja itu tersinggung, menganggap senyum petugas ketika ditanya tidak berempati dengan penderitaan keluarga korban. Adu jotos hampir terjadi.

Insiden karena faktor kelelahan yang mencekam itu tidak lama. Berhasil dilerai. Pencarian pun dilanjutkan. Masih belum ada petugas berani turun. Dandim kembali ambil alih komando. Bersama beberapa pekerja dia turun ke mulut terowongan. Di sinilah duka dalam menyelimuti. Pekerja yang masuk memberi kode. Ada lagi jenazah mengapung. Dan bukan cuma satu. Mariono, nama pekerja yang masuk itu. Dia menarik rekannya yang mengapung dengan tubuh bengkak hingga ke luar terowongan.

Satu,...dua,...tiga. Terus bergantian jenazah ditarik ke luar. Tangis keluarga pecah. Orang-orang terdiam. Wartawan termangu. Duka mencekik kerongkongan. "Ya Tuhan, nggak ada yang selamat kah?" lirih suara warga.

Proses berlanjut hingga pukul 16.30. Total ada delapan jenazah. Para korban itu dibawa ke rumah sakit daerah. Arsyad dan keluarganya tidak terlihat lagi. "Mereka sudah pulang," kata tetangganya di samping mess.

Tertinggal di di mess seorang ibu muda. Sabiah namanya. Dia sehari lalu datang dari Pelaihari, ketika mendegar kecelakaan di terowongan tambang manual itu. Bajunya masih baju yang kemarin. Terpekur di depan jendela, tampak kebingungan. Seakan bertanya, bagaimana nasib suaminya.

Jelang petang, Sabiah mengambil kerudungnya. Seperti hendak bepergian. Mungkin ingin mengetahui nama-nama jenazah di rumah sakit. Hingga berita ini diturunkan, baru dua nama dari delapan korban yang berhasil diidentifikasi. Memet dari Pelaihari dan Saifuddin dari Amuntai.

Kepada Radar Banjarmasin, Dandim Rahmat Trianto menjelaskan, lokasi jenazah terakhir sekitar 150 meter dari mulut terowongan. "Di dalam masih berair dan lumpur. Pencarian dua korban kami lanjutkan besok," ujarnya. Hujan yang kembali turun membuat tim gabungan tidak ingin ambil risiko. Longsor susulan bisa saja terjadi, dan membahayakan para petugas SAR.

Dari informasi yang dihimpun Radar Banjarmasin, panjang terowongan sekitar 800 meter. Di dalam terowongan luasnya seperti lapangan bola. Terowongannya berputar-putar, bercabang di sana-sini. Sebagai gambaran. Masuk terowongan utama berada di dalam lubang tambang besar dengan ukuran setengah lapangan bola. Bekas galian tambang terbuka itu dalamnya sekitar 75 meter. Di bagian paling bawah itulah pekerja membuat terowongan, sekitar lima tahunan silam.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Banjarmasin Pulangkan 10 Orang Terlantar

Jumat, 26 April 2024 | 14:30 WIB
X