Masihkah Menyalahkan Alam?

- Jumat, 12 Februari 2021 | 14:42 WIB
Penulis: Ferry Irawan Kartasasmita
Penulis: Ferry Irawan Kartasasmita

Ada baiknya kita mengenang momen masa lalu, tanggal 23 September 2015. Saat itu Presiden Jokowi mengunjungi Kalimantan Selatan untuk meninjau kondisi kebakaran lahan di provinsi ini. Ia mengenakan kemeja putih lengan panjang dan memakai masker guna menghindari gas-gas yang berbahaya bagi kesehatan, hasil samping dari kebakaran lahan. Presiden Jokowi meninjau lokasi di Desa Guntung Damar, Banjarbaru dan Sambang Lihum, Gambut. Keesokan harinya ia melaksanakan salat Iduladha di Masjid Al Karomah, Martapura.

===============================
Oleh: Ferry Irawan Kartasasmita
Pemerhati Masalah Sosial dan Lingkungan Kalsel
===============================

Masih tersebar di dunia maya, foto Jokowi yang diabadikan teman-teman jurnalis. Menampilkan mimik kesedihan mendalam melihat lahan gambut yang terbakar, melangkah gontai dengan pandangan yang kosong, seakan tak percaya ratusan hektare luas lahan terbakar dan melepaskan karbon ke atomosfer yang memperparah perubahan iklim. Di foto lain, ia berdiri termangu menatap ke bawah, melihat bumi yang ia pijak ludes terbakar meninggalkan jelaga hitam yang mengotori ujung sepatu.

Di kesempatan lain dan di waktu yang berbeda pula, Jokowi kembali mengunjungi Kalsel, tepatnya di Pekauman Ulu, Martapura Timur. Kali ini ia dengan outfit yang hampir sama, mengenakan kemeja putih dilapisi jaket bomber hitam dan mengenakan masker guna menghindari penyebaran virus Covid-19 yang belum juga sirna.

Sebuah ironi, sebelumnya Jokowi meninjau kebakaran lahan, kini harus melihat banjir yang memporak-porandakan 11 kabupaten/kota di Kalsel.

Presiden Jokowi menegaskan, ini merupakan banjir bandang pertama setelah 50 tahun tidak pernah terjadi di Kalsel. Akibat curah hujan ekstrem dalam 10 hari terakhir, Sungai Barito yang memiliki daya tampung hingga 230 juta meter kubik, akhirnya tidak sanggup ketika menerima kiriman air hujan sebesar 2,1 miliar meter kubik. Hingga air yang meluap tak terelakkan dan mengakibatkan banjir di beberapa daerah.

Begitu rentankah banua kita kini? Apakah sudah renta kondisi hutan hujan tropis di Pegunungan Meratus? Apakah sudah kritis lahan gambut kita? Sehingga tidak mampu lagi menampung air hujan dan mengering tandas tak bersisa saat kemarau?

Kemarau panjang, bumi Banua diuji dengan kebakaran lahan. Menimbulkan kabut asap yang mengganggu jarak pandang dan kesehatan pernapasan masyarakat. Saat berbeda, ketika fenomena La Nina hadir, banjir merendam. Meninggalkan duka, rusaknya rumah dan barang berharga, memutuskan jembatan, hingga gugurnya korban jiwa.

Haruskah ini akan menjadi rentetan kejadian yang akan terus berulang? Kebakaran lahan dan banjir bandang silih berganti mengisi hari-hari rakyat Banua yang telah terbebani kondisi ekonomi.

Di awal tahun 2020 lalu, bencana banjir besar dialami wilayah DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten. Kita lihat bersama, kejadian banjir dan tanah longsor tak hanya tentang soal alam, tapi karena terjadinya krisis ekologi. Pembangunan di Pulau Jawa, terutama di wilayah Jabodetabek diketahui telah melampaui daya dukung lingkungan. Luas area hijau semakin berkurang, tergantikan beraneka ragam permukiman dan bangunan-bangunan menjulang. Luas daerah aliran sungai semakin menyempit. Kondisi hulu sungai seperti di kawasan Puncak dan Bogor terus bertumbuh menjadi area vila dan permukiman. Terus apa yang bisa kita harapkan dari langkah yang semakin menjauh dari alam tersebut?

Dan kita tak belajar dari ini semua. Satu tahun tak menjadi sarana introspeksi untuk memperbaiki kondisi lingkungan. Tepat di awal tahun 2021, giliran Kalsel yang menerima dampak. Banjir bandang yang tak pernah kita kira terjadi seluas ini. Banyak mata menyorot beralih fungsinya lahan ke pertambangan dan perkebunan menjadi sumber masalah dari banjir yang tejadi.

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) menyatakan, hasil analisis penyebab banjir bandang di Kalsel menunjukkan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2010-2020), terjadi penurunan luas hutan primer sebesar 13.000 ha, hutan sekunder 116.000 ha, sawah dan semak belukar masing-masing 146.000 ha dan 47.000 ha. Sebaliknya, area perkebunan mengalami perluasan yang signifikan sebesar 219.000 ha.

Menurut Kisworo Dwi Cahyono, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, banjir besar ini bukan hanya karena faktor tingginya curah hujan, melainkan ada faktor lebih utama, yakni membludaknya izin usaha pertambangan dan juga besarnya luasan kebun sawit. Provinsi ini dalam kondisi darurat ruang dan darurat bencana ekologis. Kalsel dengan luas 3,7 juta ha, terdiri dari 13 kabupaten/kota, sebesar 50 % sudah dibebani izin tambang (33%) dan perkebunan kelapa sawit (17%), belum HTI (Hutan Tanaman Industri) dan HPH (Hak Pengusahaan Hutan).

Di satu sisi, berbagai instansi terkait menyatakan akibat curah hujan yang sangat tinggi dan gelombang pasang air laut mengakibatkan banjir kali ini menjadi parah. Kita memang bisa berdebat dan saling menyanggah. Saling tunjuk kesalahan atau bersembunyi, hingga riuh ini menjadi tenang. Tanpa kita menyadari andil bencana banjir kali ini adalah salah kita semua.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kebakaran, Duit Sisa THR Ikut Hangus

Sabtu, 20 April 2024 | 09:15 WIB
X