Memupuk Harapan di Balik Kesedihan, Cerita yang Tersisa dari Banjir HST

- Senin, 15 Februari 2021 | 13:48 WIB
TETAP CERIA: Anak-anak di Desa Waki, Hulu Sungai Tengah bermain bola dilatar-belakangi kerusakan yang ditinggalkan akibat banjir bandang. Banjir bandang yang melanda Desa mereka 14 Januari lalu membuat rumah-rumah hancur. | FOTO: JAMALUDIN/RADAR BANJARMASIN
TETAP CERIA: Anak-anak di Desa Waki, Hulu Sungai Tengah bermain bola dilatar-belakangi kerusakan yang ditinggalkan akibat banjir bandang. Banjir bandang yang melanda Desa mereka 14 Januari lalu membuat rumah-rumah hancur. | FOTO: JAMALUDIN/RADAR BANJARMASIN

Tiga desa yaitu desa Waki, desa Alat dan Datar Ajab paling parah terdampak banjir bandang di Hulu Sungai Tengah 14 Januari lalu. Seisi desa seperti disapu habis. Kini mereka mulai mengumpulkan harapan kembali.

-- Oleh: JAMALUDDIN, Barabai --

“Sekira pukul 22.00 Wita lewat toa di musala saya memberi arahan untuk seluruh warga agar mengevakuasi diri menuju dataran tinggi,” cerita Muhammad Arsyad warga Desa Waki mengenang kembali awal mula terjadinya banjir.

Lelaki 48 tahun ini mantan pembakal desa Waki yang masa jabatannya habis November 2020 lalu. Rumahnya ikut hancur akibat diterjang banjir. Sekarang desa dengan jumlah penduduk 1.468 orang itu menunggu kepastian apakah mereka akan dapat bantuan hunian.

Mereka patut berharap. Sebab sampai sekarang warga masih tidur di tenda darurat dan sebagian memilih menginap di rumah keluarga yang rumahnya selamat. Di Desa Waki ada 40 rumah yang dilaporkan hilang atau hanyut. Sedangkan rumah dengan kategori rusak parah ada 60 rumah.

“Dan rusak sedang sudah tidak terhitung lagi, ratusan lah,” bebernya. Pada Sabtu (12/2) pagi. Arsyad membawa penulis untuk menyusuri setiap gang di desa. Banyak rumah yang ambruk bahkan hanya lantai yang tersisa.

RT 02 menjadi lokasi yang paling parah. Di sini ada 30 rumah hanyut. Beruntung tidak ada korban jiwa, penghuni rumah berhasil menyelamatkan diri. Namun tidak ada barang yang bisa diselamatkan selain baju di badan.

Arsyad mengingat lagi. Banjir yang datang dahsyat, air menghempas apa saja yang dilewati. Desa seketika tersapu arus air. Kemudian air merendam desa dengan tinggi 2,5 meter.

“Sekira pukul 23.00 wita terdengar suara gemuruh. Tak disangka ternyata itu suara aliran air sungai Benawa yang deras membawa puing-puing pohon dari pegunungan Meratus. Seketika pohon itu langsung menghantam rumah-rumah warga,” cerita Arsyad.

Ketika warga yang lain sudah mengevakuasi diri. Arsyad bersama enam orang lainnya masih bertahan di tengah luapan air. Dengan alat seadanya seperti senter dan tali dan tangga mereka bekerjasama melihat setiap rumah warga apakah ada yang terjebak.

"Di RT 5 ada seorang nenek usia 84 tahun yang mengalami stroke. Beruntung sempat diselamatkan. Kita gotong royong mengangkat sang nenek untuk dibawa ke atas atap. Karena di dalam rumahnya air sudah sampai leher," ceritanya.

Selain itu, proses evakuasi juga dilakukan kepada pemuda berkebutuhan khusus. Prosesnya lama karena pemuda ini tidak mau meninggalkan rumah. "Mau tidak mau kita tarik dia. Karena air sudah sepinggang, untung tidak melawan dan kita bawa ke tempat tinggi,” lanjutnya.

Seharusnya Arsyad bisa meninggalkan desa duluan. Tapi dia punya tanggung jawab untuk menyelamatkan warga. “Saya bisa saja meninggalkan mereka (warga) tapi tidak. Saya tidak mau meninggalkannya," tegasnya.

Air sudah mengepung desa Waki. Berselang empat jam sekira pukul 04.00 pagi air sudah mulai surut. "Saat itu juga saya melihat kondisi rumah, sekolah, tempat ibadah sudah hancur. Termasuk rumah saya sendiri," kisahnya.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

X