Masalah Banjir, Deporestasi dan Tambang

- Rabu, 17 Februari 2021 | 10:03 WIB
Penulis: Haris Zaky Mubarak, MA
Penulis: Haris Zaky Mubarak, MA

Apa yang terjadi di Kalimantan Selatan (Kalsel), baru-baru ini menjadi bukti jika wilayah tutupan hutan masih luas sehingga banjir sangat mudah menguasai lingkungan kota dan desa. Alasan ini sangatlah rasional, sebab salah satu fungsi hutan adalah sebagai pengatur tata air. Sehingga air hujan yang turun akan terserap ke dalam tanah. Meskipun sebagian orang menganalisa banjir Kalsel ini disebabkan anomali cuaca dalam bentuk curah hujan yang ekstrem, tapi akar masalah banjir Kalsel pada awal tahun 2021 tetap memiliki relevansi kausalitas yang kuat dalam sebab destruktif dari perusakan hutan yang masif.

=========================
Oleh: Haris Zaky Mubarak, MA
Sejarawan
Direktur Jaringan Studi Indonesia
=========================

Adanya penurunan daya serap permukaan tanah yang berakibat banjir ini disebabkan karena maraknya alih fungsi lahan hutan untuk kawasan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan yang terjadi di wilayah Kalsel.

Dalam catatan sejarah lingkungan di Kalsel, kegiatan penebangan atau penggundulan hutan untuk dialihgunakan untuk penggunaan selain hutan (deforestasi) di Kalimantan sudah terjadi selama puluhan tahun.

Hampir selama puluhan dekade berlalu, kebijakan deforestasi yang ada di Kalimantan sangat begitu masif terjadi selama puluhan tahun. Dalam kajian Peter Boomgard (1999) pada dekade 1840 para ilmuwan dan para pegawai Hindia Belanda telah mulai memperingatkan ancaman bahaya deforestasi yang dapat mengurangi jumlah pasokan air untuk irigasi dan menyebabkan terjadinya banjir.

Peringatan tersebut secara spesifik diberikan kepada seluruh Gubernur Jendral Hindia Belanda yang diperingatkan secara keras jika deforestasi akan dapat menimbulkan perubahan iklim, penurunan curah hujan, yang dapat menyebabkan kegagalan panen dan menimbulkan kerugian besar bagi ekonomi Hindia Belanda.

Sayangnya teguran keras sejarah dari masa Hindia Belanda tersebut sepertinya juga  tak diperhatikan sampai hari ini. Karena faktanya tanah hutan masih kehilangan daya tampung air. Luas tutupan hutan Kalsel mengalami penyusutan, dari 1,18 juta hektare pada 2005 menjadi 0,92 juta hektare pada 2019. (Kompas, 17 Januari 2021).

Mirisnya lagi, dalam beberapa dekade terakhir, pengurangan area hutan di daerah aliran sungai (DAS) Barito telah mencapai 62,8%. Kondisi ini jelaslah miris. Hutan–hutan di tanah Kalimantan yang harusnya terpelihara dengan baik justru harus tersingkir karena kepentingan besar ekonomi oleh para elite politik dan pengusaha yang gemar dalam mengejar keuntungan praktis. Kondisi ini pun nyatanya telah membuat masyarakat lokal menanggung akibat buruk dari deforestasi.

Alam yang dirusak kini membawa petaka bagi banyak ruang kehidupan manusia. Banjir menjadi muara dari lingkaran krisis ekologis berskala besar yang sudah lama dan mungkin akan terus terjadi kedepannya. Faktor ekologis lainnya yang turut memicu terjadinya banjir besar Kalsel adalah kerusakan lingkungan yang dibentuk oleh banyaknya lubang tambang yang dibiarkan begitu saja tanpa ditutup kembali.

Tercatat ada sebanyak 814 lubang tambang di Kalsel yang aktif digunakan maupun yang ditinggalkan. Selain itu ada sebanyak 700 hektare lahan tambang yang keberadaannya tumpang tindih dengan kawasan pemukiman warga . Ironisnya lahan tambang berada dalam kawasan pertanian dan kawasan hutan tropis yang dilindungi. Tentu hal ini semakin membuat miris masyarakat.

Masalah eksploitasi alam nyatanya masih menjadi anomali kekinian dari pelaksanaan pembangunan. Mudahnya pemberian izin tambang menjadi pemicu pokok yang membuat konsep pembangunan semakin tak ramah lingkungan. Data empiris sejatinya sudah banyak memberi catatan jika ada banyak perusahaan tambang di Indonesia yang memiliki izin tambang  ilegal, bahkan mengarah pada tindakan korupsi. Ketatnya izin tambang karena analisa dampak lingkungan, faktanya telah membuat banyak perusahaan tambang  Indonesia yang lebih memilih jalan suap sebagai cara untuk mendapatkan izin tambang.

Jika melihat sejarah pertambangan. Sejak tahun 1966 sampai tahun 1987, eksplorasi dan produksi batu bara yang terjadi di Indonesia memang mengalami peningkatan yang sangat pesat. Pada tahun 1966, produksi batu bara Indonesia sudah menyentuh pada angka 319.829 ton dan tahun 1987 melonjak menjadi 2.813.533 ton.

Apalagi ketika Undang-Undang Otonomi Daerah pada masa reformasi mulai diberlakukan. Penerbitan izin tambang menjadi bagian kewenangan pemerintah daerah provinsi atau kabupaten, sehingga hal ini praktis menjadikan para elite lokal sebagai kuasa penentu dari banyak izin tambang. Adapun soal hasil pembagian royalti penambangan akan langsung menjadi penerimaan daerah provinsi dan kabupaten.

Tambang batu bara pada dasarnya mempunyai kegunaan yang sangat strategis utamanya sebagai sumber devisa negara, sumber pendapatan asli daerah (PAD) dalam hal ini pajak dan royalti menjadi sumber pembangunan infrastruktur. Namun, aktivitas pertambangan juga dinilai telah merusak sumber-sumber mata air dan sungai digunakan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kebakaran, Duit Sisa THR Ikut Hangus

Sabtu, 20 April 2024 | 09:15 WIB
X