BANJARMASIN - Selama pandemi, edukasi tentang kekerasan seksual dan fisik kepada pelajar terhenti. Penyuluh tak mungkin mendatangi sekolah-sekolah yang sedang ditutup.
Padahal, justru terjadi kenaikan kasus kekerasan terhadap anak. Dari tahun 2019 sebanyak 50 pengaduan menjadi 77 pengaduan pada 2020 kemarin. Baru yang terdata di P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak) Banjarmasin, belum di lembaga lain.
Kasi Perlindungan Anak di DP3A (Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) Banjarmasin, Khusnul Khotimah Yuliani mengakui, penyuluhan ke sekolah-sekolah pun disetop. Apalagi anak-anak masih berkutat dengan belajar daring di rumah.
"Dulu menyuluh siswa, guru dan orang tua murid langsung. Sekarang cuma membagikan pamflet ke sekolah," ujarnya belum lama ini.
Salah satu yang tertera dalam brosur itu, korban kekerasan bisa melapor ke Sekretariat P2TP2A di Jalan Ahmad Yani kilometer 2,5. Atau menghubungi nomor 0822-5045-3333 (bisa telepon atau WhatsApp).
Sekarang, tanpa penyuluhan, apa yang bisa dilakukan DP3A? Dia berharap, peran keluarga dan tetangga yang lebih dominan.
Sebagai ibu kota Provinsi Kalsel, masyarakat Banjarmasin semestinya sudah memahami betapa seriusnya kekerasan terhadap anak dan perempuan.
Anak-anak juga harus waspada. Mengenal lingkungannya dengan baik. Tegas menolak jika ada ajakan atau godaan yang aneh-aneh. Lalu, anak harus rajin-rajin curhat kepada orang tuanya. Orang tua pun harus menjadi pendengar yang baik.
Sebab, dalam pengalaman Khusnul, banyak kasus dengan waktu kejadian yang sudah lampau. Traumanya pun terlanjur parah.
"Anak juga harus mengenal berbagai jenis tindakan kekerasan. Juga berani melapor apabila mengalami atau melihatnya terjadi," tambahnya.
Namun, bila terlanjur menjadi korban, di sinilah pentingnya dukungan dari keluarga. Agar mereka bisa melewati masa sulit dan kembali bersemangat melanjutkan hidup. (gmp/fud/ema)