PROKAL.CO,
Desa Berangas tak hanya terkenal sebagai lumbung padinya Kotabaru. Di sini pernah tinggal ulama tasawuf yang punya nasionalisme tinggi, H Muhammad Husin.
======================================
WAHYU RAMADHAN, Pulau Laut
======================================
H MUHAMMAD Husin diberkahi umur panjang. Ia wafat dalam umur 125 tahun pada 10 Rabiul Awal 1402 Hijriyah, atau 35 tahun silam. Diperkirakan Husin lahir pada tahun 1856, satu setengah abad silam.
Sebelum menetap dan wafat di Desa Berangas, Husin tinggal di Desa Seratak. Kedua desa yang berjarak delapan kilometer ini sekarang berada di wilayah Kecamatan Pulau Laut Timur. Berangas sendiri berjarak 35 kilometer dari pusat Kotabaru.
Mencari makam Husin tidaklah sulit. Makamnya berada di pinggir jalan utama desa. Sepanjang perjalanan menuju Berangas, peziarah dihadapkan pemandangan Pantai Sarang Tiung. Saya sengaja berangkat siang hari. Agar pulangnya bisa melihat matahari tenggelam di pantai terkenal tersebut.
Salah seorang keturunannya, H Syamsuni menceritakan Husin rutin membuka pengajian di rumahnya. "Temanya tentang tauhid dan tasawuf," kata lelaki berumur 64 tahun itu. Peserta pengajian Husin sedikit, paling banter lima orang. Namun, 'jamaah berjalan' Husin lah yang jumlahnya banyak.
Kebiasaan unik Husin adalah membagikan ilmu tak peduli waktu dan tempat. Misal, sembari berjalan kaki dari rumah menuju pasar, Husin akan membicarakan agama dengan bahasa yang ringan. Jamaahnya akan manggut-manggut mendengarkan sambil menguntit langkah Husin.
Ia juga tak sungkan duduk di bawah pohon. Tempat orang tua dan remaja banyak berkumpul. Agar pendengar tak jemu, Husin asyik mengikuti tema obrolan mereka. Sambil sesekali menyelipkan pesan agama. Gaya dakwah itulah yang membuatnya menjadi panutan masyarakat.
Husin diketahui belajar tauhid dan tasawuf dari orang tuanya. Pertama dari ayahnya H Muhammad Amin. Dilanjutkan pada pada mertuanya, H tawang yang masih keturunan raja dari Ujung Pandang.
"Menuntut ilmu di zaman dulu sulit. Untuk ke Banjarmasin saja jaraknya sudah jauh sekali. Jadi sedari kecil, keluarga yang mendidik beliau. Kebetulan keluarga beliau rata-rata cukup lama menimba ilmu di Mekkah," kisah Syamsuni.
Tak puas menimba ilmu dari keluarga, Husin juga melahap kitab. Kitab-kitab yang menjadi rujukannya pada saat pengajian kebanyakan berasal dari Kampung Dalam Pagar, Martapura. Dalam Pagar adalah tempat wafatnya Syekh Muhammad Arsyad Albanjari atau Datu Kelampayan.
Selain dikenal karena keulamaannya, Husin juga loyal pada pejuang republik. Ia tak segan menyumbangkan harta benda untuk kebutuhan pejuang. Husin juga tak ragu menyediakan tempat bersembunyi yang aman bagi pejuang yang sedang buron.
Hingga akhirnya penjajah Belanda geram dan membuat pengumuman. Isinya, siapa saja ulama yang membantu atau melindungi pejuang akan dipenjarakan. "Beliau akhirnya ditangkap berdua dengan temannya di Berangas. Tapi tidak lama karena kurangnya bukti," ujarnya.
Penangkapan itu tak membuat semangat Husin surut. "Nasionalisme beliau tinggi. Beliau punya kebiasaan membawa kain merah putih kemana-mana. Diselipkan di dalam pecinya," imbuhnya.
Masyarakat juga mengenang sosok Husin sebagai penghulu yang tak pernah menolak permintaan undangan menikahkan. Di mana pun alamatnya selalu ia iyakan tanpa banyak pertimbangan. Meskipun rumah yang dituju sangat jauh dan terbilang berbahaya.
"Dari cerita orang tua, beliau pernah mendapat undangan pernikahan secara bersamaan di tiga desa berbeda dalam waktu berdekatan. Yang membuat heran, masyarakat menyaksikan beliau menghadiri ketiga undangan tersebut dengan tema ceramah serupa," tuturnya.
Sebelum meninggal dunia, Husin pernah berwasiat. Ia menyebut betapa indahnya meninggal tanpa meninggalkan keramat. Karena khawatir makamnya bakal menjadi tempat yang justru mengundang perbuatan yang diharamkan.
"Sekarang umat lebih suka memakai syariat ketimbang tauhid," kata Syasumni menirukan perkataan Husin. Merasa waktunya sudah dekat, Syamsuni meminta liang lahatnya digali. Makam Husin berada tepat di samping rumahnya. (war/fud)