PROKAL.CO,
Dari atas Gunung Sasapit, berdiri Majelis Salsabil. Salsabil berarti nama mata air di surga yang rasanya sedap. Salsabil tak sekadar menawarkan ilmu, tapi juga lembar kehidupan baru yang damai.
=============================================
DESA Tirawan terletak di Kecamatan Pulau Laut Utara, berjarak sekitar 10 kilometer dari pusat Kotabaru. Di Tirawan menjulang Gunung Sasapit. Dari atas gunung ini, Majelis Salsabil sedang berkembang pesat.
Majelis ini dibina seorang habib asal Martapura, Sayid Reza Faisal bin Husin al Babud. Awalnya peserta majelis bisa dihitung jari. Sekarang, jemaahnya berdatangan dari Jakarta sampai Aceh. Tak sedikit pula anggota jemaah yang memutuskan menetap di gunung untuk mendalami agama.
Kali ini saya tidak sendiri. Zalyan Shadiqin Abdi, reporter Radar Banjarmasin untuk wilayah Kotabaru dan seorang kawan bernama Luki ikut menemani. Kami berangkat sore hari. Melewati jalan cor semen yang meliuk-liuk dan naik turun.
Setengah jam perjalanan, tibalah kami di tujuan. Tak ada papan nama. Yang tampak adalah pemukiman kecil dengan 10 rumah, satu musala dan satu sumur. Di Sasapit Anda disuguhi pemandangan indah. Lautan lepas plus matahari tenggelam.
Kami disambut seorang lelaki yang mengajak kami ke musala untuk berbuka puasa. "Ala kadarnya ya. Kita berbuka dengan kurma dan air putih saja. Insya Allah rasa air putihnya beda," ujarnya. Penekanan pada air putih itu membuat saya heran. Begitu azan berkumandang, saya langsung mereguk air tersebut. Rasanya? Segar bukan main.
Usai salat maghrib, kami diantar ke rumah Sayid Reza. Mengenakan baju koko dan sarung, ia mempersilakan kami masuk. Saya cukup kaget. Dalam bayangan saya, pemimpin majelis ini lekaki berusia uzur. Sementara Reza terbilang muda, umurnya baru menjelang 40 tahun.
Salsabil menarik diliput karena latar belakang jemaahnya yang unik. Dari preman, narapidana, sampai mantan pebalap nasional. Mendengar itu, Reza tersenyum dan menganggap wajar jika setiap manusia memiliki masa lalu yang sulit.
Sejarah Salsabil adalah sejarah Reza pula. Bapak dua anak ini dulu mondok di salah satu pesantren di Martapura. Tahun 2003 ia menetap di Kotabaru. Setelah menikahi perempuan setempat, dari mertua ia mendapat sebidang tanah di Gunung Sasapit.
Tanah itu lalu ditanaminya palawija. Karena sulit dicapai penduduk, tahun 2006 Reza membangun jalan setapak dan menggali sebuah sumur. Dari interaksi dengan penduduk, Reza memutuskan membangun pondok kecil yang kemudian berubah menjadi musala. Inilah awal berdirinya Majelis Salsabil.
Ditanya motivasi, ia mengaku prihatin dengan kondisi umat. Reza juga menganggap dakwahnya sebagai pengabdian terhadap seorang guru yang pernah mengajarnya. "Ini amanah saya setelah mondok," Ujarnya.
Tahun 2007 sampai 2010, Reza bersama jemaah melebarkan jalan gunung dengan peralatan seadanya seperti cangkul, parang dan linggis. Dananya patungan dari kantong warga. Tujuannya agar jalan bisa dilintasi sepeda motor.
Pengajian digelar setiap Kamis malam dan Sabtu malam. Isinya berkisar pada tauhid, fiqih, dan tasawuf. "Majelis kami menekankan pada akhlak," tegasnya. Sementara pada sore hari, musala dipakai anak-anak untuk belajar membaca Alquran.
Jalan dakwah punya sifat terjal. Suara sumbang sampai fitnah pernah menimpa majelis tersebut. Beberapa bahkan terdengar tidak masuk akal. "Saya sampai dikira tukang memelihara tuyul," kenangnya.
Saya berkesempatan mewawancarai anggota majelis asal Cengkareng, Jakarta Barat. Namanya Dody Hidayat, 37 tahun. Dody dulu terkenal sebagai pebalap motor nasional. Kini ia menetap di Gunung Sasapit bersama istri dan kedua anaknya.
Dody memutuskan tinggal di Sasapit setelah merasa mendapat ketenangan diri. Sesuatu yang sulit didapatnya di ibukota. Ia juga mengaku terkesan dengan perjuangan penduduk ketika mendirikan majelis.
Sebenarnya, sejak dari Cengkareng ia sudah rutin mengikuti pengajian. Pertemuannya dengan Sayid Reza terjadi pada tahun 2015. Saat datang ke haul akbar Guru Sekumpul di Martapura.
Ia mantap meninggalkan Jakarta setelah melihat kesederhanaan hidup penduduk. "Saya tanya, apa cukup hidup dari perkebunan yang hasilnya tak seberapa? Mereka jawab Alhamdulillah cukup. Saya terharu mendengarnya," ujarnya. Sekarang, Dody mencari nafkah jauh dari raungan knalpot motor. Ia menghidupi keluarga dengan berkebun dan menjadi penyalur air mineral.
Puas mencatat kisah Dody, masih ada satu hal yang membuat saya penasaran. Yakni air yang saya minum saat berbuka. Rupanya, air itu ditimba dari sumur di dekat musala yang digali Sayid Reza. Air sumur itu bisa langsung diminum tanpa dijerang. Saat kemarau panjang sekalipun, sumur tersebut tak pernah kering.
Dari Dody, Sayid Reza pernah mengatakan jenis tanah galian sumur itu sama dengan tanah pada zaman Sunan Giri. Entah apa maknanya. "Kata beliau pula, dalam kisah Ashabul Kahfi (diabadikan Alquran dalam Surah Kahfi, surah ke-18) pernah disebut sumur sedalam 17 meter. Kedalaman sumur di sini juga segitu. Tapi beliau selalu bilang, sumur itu pemberian Allah," pungkasnya. (war/fud)