Ogi, Amtenar Aktivis

- Jumat, 26 Maret 2021 | 13:57 WIB
DALAM KENANGAN: Ogi Fajar Nuzuli saat menjadi relawan di Aceh.
DALAM KENANGAN: Ogi Fajar Nuzuli saat menjadi relawan di Aceh.

INI bukanlah catatan yang mudah untuk dituliskan. Begitu mendengar kabar duka dari Banjarbaru mengenai wafatnya Ogi Fajar Nuzuli, saya langsung terbayang ucapan Ogi sendiri. 

-- Catatan: Erwin D. Nugroho --

“Aku penasaran, apa kira-kira yang akan ikam tulis kalo aku meninggal?” Ogi mengatakan hal itu suatu hari, usai membaca catatan obituari saya tentang Yohandromeda Syamsu, sahabat kami yang sudah lebih dulu wafat pada 2015.

Saya memang terbiasa menuliskan catatan obituari untuk orang-orang yang saya kenal. Entah lewat posting singkat di akun media sosial, atau ditayangkan di koran dalam bentuk artikel. Begitulah kematian, selalu membawa kita pada kenangan tentang mereka yang berpulang – dan cara terbaik mengabadikan kenangan adalah dengan menuliskannya. Tanpa ditulis, kenangan akan ikut hilang ketika tiba giliran kita yang meninggal dunia. 

“Kenapa kok penasaran? Emang pian yakin bakal meninggal duluan?” seloroh saya ke Ogi waktu itu. Saya bilang, tidak ada yang tahu kapan ajal tiba. Jangan-jangan, sayalah yang lebih dulu wafat dan justru Ogi yang harus menuliskan obituari tentang saya.

“Oh, kalo itu sudah pasti boss. Banyak kisah yang bisa kutulis tentang ikam,” kata Ogi lagi.

***

Ogi benar. Terlalu banyak kisah yang bisa ditulis tentang kenangan kami satu sama lain. Persahabatan selama hampir 20 tahun tentu lebih dari cukup untuk menjadi bahan cerita. Sampai bingung dalam obituari ini saya harus menuliskan kisah yang mana. 

Sejak harus istirahat total di rumah karena kondisi kesehatannya, Ogi mengganti cara silaturahmi yang dulu dengan nongkrong di Mingguraya, menjadi silaturahmi maya. Apalagi di masa pandemi begini. Dia rajin menelepon kawan-kawan dekatnya. Termasuk saya. Sekadar bertanya kabar dan ngobrol ini-itu. Bisa setengah jam. Bisa satu jam. Bisa sampai dua atau tiga jam.

Ogi orang yang selalu antusias dan teman diskusi yang sangat menyenangkan. Kami membicarakan kesehatan, kebudayaan, kesenian, agama, politik (lokal dan nasional), olahraga, apa saja. Bahkan tak jarang gosip artis juga hahaha… Di antara semua obrolan itu kerap terselip kisah-kisah lama tentang indahnya persahabatan yang kami bangun sejak tahun 2000-an awal dulu di Banjarbaru.

Saya sendiri terakhir bertemu fisik dengannya pada Desember 2019, saat berkunjung ke Banjarbaru sekalian memenuhi undangan Ogi yang saat itu menikahkan puteri sulungnya. Di rumahnya yang sejuk di Jl Nuri, Ogi harus berbaring di ranjang khusus seperti di rumah sakit. Sebuah Smart TV yang terhubung ke internet dan dapat langsung memutar Youtube terpasang di dinding kamar, persis berhadapan dengan ranjang tersebut.

Meski kondisi kesehatan membuatnya tak lagi leluasa pergi ke mana-mana, Ogi tetap selalu update dengan semua informasi. Ia berselancar menjelajah dunia lewat Smart TV di dinding dan smartphone di tangan.

“Aku mengikuti semua podcast-nya Dedy Corbuzier. Andai masih sehat, mau juga aku bikin podcast seperti itu,” kata Ogi, dalam obrolan telepon terakhir kami tiga hari sebelum ia wafat.

Ogi pasti menjadi podcaster hebat andai hal itu diwujudkan. Dengan pembawaan yang periang dan pengalaman berpuluh tahun berinteraksi dengan berbagai lapisan masyarakat, dia memahami sekali bagaimana cara berdiskusi, menggali cerita, menghidupkan suasana.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Banjarmasin Pulangkan 10 Orang Terlantar

Jumat, 26 April 2024 | 14:30 WIB
X