Tentang yang Pergi

- Sabtu, 17 April 2021 | 12:59 WIB

Dia datang ke kafe sore itu dan mulai bercerita tentang orang-orang yang telah pergi. "Coba tuliskan sesuatu tentang mengenang mereka," kata teman saya, seorang mantan kepala dinas itu.

-- Oleh: RANDU ALAMSYAH --

Saya tidak tahu apakah masih punya kekuatan untuk itu. Tapi dia benar. Sudah dua tahun ini, orang yang saya kenal, orang yang ada di sekitar saya, orang yang pernah saya temui, atau orang dekat dari orang yang saya temui--telah meninggal atau sedang sekarat.

Dan ada kesadaran yang mengerikan bahwa tidak ada lagi kesempatan yang cukup untuk mengenang mereka. Kita hanya bisa bersimpati, dan orang lain lagi yang kita kenal, akan pergi. Yang bisa kita lakukan hanyalah melakukan rutinitas seperti biasa. Hidup harus berjalan dengan atau tanpa mereka.

Terkadang hal-hal di sekitar kita berubah begitu cepat sehingga kita bahkan tidak menyadarinya lagi. Maret 2020 lalu, saya ingat perjalanan ke Jakarta penuh dengan orang-orang yang memakai masker dan astronout yang terus menyemprotkan cairan disinfektan ke kursi bandara seolah itu adalah hama rumput. Seiring berjalannya waktu, kita telah terbiasa dengan pemandangan seperti itu.

Kepolosan masa lalu telah hilang. Sekarang kita hidup dengan ketidakpastian yang menakutkan. Kita tidak tahu kapan akhir pandemi. Bahkan dengan adanya vaksin, kita masih terus membaca berita tentang virus yang berevolusi.

Ekonomi tertatih-tatih karena pembatasan membuat semua kemungkinan pemulihan menjadi canggung. Pedagang asongan, pengusaha kafe, bioskop, mall yang kehilangan setengah mata pencaharian sejak awal pandemi, kini juga harus berurusan dengan pemaksaan tutup yang bisa terjadi sewaktu-waktu.


Herannya, virus corona sepertinya hanya muncul saat akhir pekan di kafe. Dan tidak di bilik suara saat Pilkada. Pilkada tidak bisa ditunda, sementara bidang yang lain--bisa.

Sementara itu, sekolah masih libur meski anak-anak sudah tidak memiliki ketertarikan lagi dengan tugas online. Menteri Pendidikan dihantui kecemasan akan satu tahun yang hilang dan pendidikan Indonesia yang tertinggal-- semakin jauh tertinggal. Tapi di daerah, disdik punya suara yang berbeda.

Pariwisata lumpuh dan fasilitas-fasilitas yang dulu ramai dikunjungi, kini berdebu. Tidak ada metafora dari kesuraman kehidupan manusia selain melihat tempat-tempat yang dulu memunculkan sukacita dan penuh warna, kini seperti menjadi foto dalam bingkai hitam-putih.


Segalanya seperti dijalankan dengan buruk tetapi orang-orang sudah keletihan untuk mengkritik atau menyadarinya. Masa depan, apalagi masa depan negara, adalah sesuatu yang jauh. Orang-orang lebih peduli akan hari ini. Bagaimana mereka menghadapi perubahan yang terjadi hari ini.

Perubahan terus terjadi dengan cepat. Saya ingat akhir pekan biasanya saya duduk-duduk mengunjungi Bang Dewa Pahuluan di Minggu Raya. Kami akan berbagi cerita tentang politik dan sastra. Dia akan menanyakan apakah saya punya buku yang bisa dibelinya (dia biasa menjadikan buku sebagai hadiah untuk undangan perkawinan) dan jika tidak, kami akan berbicara tentang event sastra dan budaya yang bisa disponsorinya.


Seperti banyak orang lainnya dalam kehidupan saya, Bang Dewa juga telah lama pergi. Saya sering menziarahi makamnya di Guntung Lua, Banjarbaru. Hidup seperti stasiun kereta api yang padat; di mana orang terus datang dan pergi sesuka hati.

Pak Cacah, seorang pensiunan pejabat yang dulu sering berwisata Coto Makassar dengan saya; Ibu Agustina Thamrin, penyair dan sastrawan yang keceriannya mengisi seluruh Mingguraya; Pak Nadjmi, walikota Banjarbaru yang berhati baik; Bang Ogi Fajar Nuzuli, pria besar dengan hati yang juga besar---semua sudah pergi.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Rem Blong, Truk Solar Hantam Dua Rumah Warga

Kamis, 28 Maret 2024 | 19:00 WIB

Masalah Pendidikan Jadi Sorotan Ombudsman

Kamis, 28 Maret 2024 | 16:50 WIB

Gempa 3,3 Magnitudo Guncang Kotabaru

Kamis, 28 Maret 2024 | 15:58 WIB
X