BANJARMASIN - Setelah Idul Fitri, persisnya pada 15 Mei, Dinas Kesehatan Banjarmasin mencatat 166 kasus aktif. Pemko khawatir, momen lebaran bakal menaikkan angka itu hingga berkali-kali lipat.
Sekalipun ada larangan mudik, para ketua rukun tetangga dan rukun warga diminta mengawasi kehadiran warga luar kota di lingkungannya masing-masing.
"Kami mengimbau camat, lurah, terus sampai tingkat RT dan RW untuk melacak warga pendatang," kata Kepala Dinkes Banjarmasin, Machli Riyadi, akhir pekan tadi.
Bila sudah terlacak, pendatang akan diminta menunjukkan SIKM (surat izin keluar dan masuk) dengan lampiran hasil rapid test antigen.
Demi memastikan mereka benar-benar bebas COVID-19, bakal ada tes ulang. "Dalam kurun waktu 3x24 jam, seluruh RT dan RW melapor kepada lurah. Sehingga puskesmas terdekat bisa melaksanakan rapid test antigen," tambah Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Banjarmasin tersebut.
Sementara itu, anggota Tim Pakar COVID-19 Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Hidayatullah Muttaqin memandang kebijakan melarang mudik di Indonesia sudah gagal.
Indikatornya, mobilitas penduduk selama bulan puasa atau sebelum lebaran, jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2020 lalu.
Semangat masyarakat untuk berbelanja bahan pangan dan baju baru di pasar tradisional dan modern tidak tertahankan lagi. Padahal, penularannya semakin gawat jika dibandingkan tahun lalu.
Lalu, warga mengakali peniadaan mudik dengan bepergian sebelum 6 Mei, sebelum perbatasan dijaga aparat. "Terjadi pergerakan masif penduduk antar daerah dan antar pulau," sesalnya, kemarin (16/5).
Mengapa bisa gagal? Muttaqin menilai, kepercayaan masyarakat menjadi rendah lantaran adanya pengecualian dari pemerintah. "Seperti masuknya pekerja dari Tiongkok saat larangan mudik berlangsung," jawabnya.
Kesimpulannya, larangan mudik tak direncanakan matang dan terukur. "Terlihat dari ketiadaan pemberian kompensasi untuk sektor transportasi yang paling terdampak," pungkas dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis tersebut. (war/fud/ema)