UU Minerba Disebut Tak Masuk Akal, Ramai-Ramai Ajukan Judicial Review

- Rabu, 23 Juni 2021 | 10:37 WIB

BANJARMASIN - Gugatan kepada keUndang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) datang dari banyak pihak. Di Kalsel Asosiasi Pemegang Izin dan Kontraktor Tambang (Aspektam) juga bersiap mengajukan judicial review.

“Undang-undang ini sangat merugikan pengusaha daerah,” ucap Solihin, Ketua Aspektam Kalsel yang mengatakan pihaknya sudah menyusun langkah-langkah mengajukan judical riview UU Minerba ini.

Dia mengatakan, kebijakan ini selain dapat mengganggu sistem, juga akan menghambat pelayanan. Dicontohkannya, untuk berurusan, perusahaan daerah tentu harus ke Jakarta yang padahal sebelumnya hanya di daerah setempat.“Selain jarak, tentu akan memakan waktu yang tak cepat. Belum lagi yang mengurus tak hanya satu dari daerah,” sebutnya.

Di sisi lain tambahnya, perusahaan di daerah dikejar waktu kontrak kerja dengan pihak ketiga yang harus cepat selesai. “Salah satunya adalah dokumen pengajuan Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB),” ujar Solihin.

Yang pihaknya takutkan, ketika UU ini berlaku, dan pemerintah tak siap, akan berdampak besar terhadap investasi, khususnya di sektor Minerba. “Dengan sentralisasi di pusat, tak menutup kemungkinan akan muncul indikasi permainan calo atau makelaran,” ucapnya.

Dugaan akan maraknya pungli sebutnya cukup mendasar. Lantaran, perusahaan di daerah tentu ingin cepat urusan yang membuat mereka terbuang waktu. “Calo-calo urusan dokumen bisa saja marak,” tuturnya.

Kemunculan calo nanti sebutnya, tentu akan menambah biaya perusahaan di luar biaya operasional lain yang sudah disusun. “Jangan sampai malah kebijakan ini memberatkan biaya perusahaan,” imbuhnya.

Selain itu kebijakan Minerba yang ditangani pemerintah pusat akan membuat pengawasan tak berjalan maksimal. Alasannya, yang lebih mengetahui kondisi di daerah adalah pemerintah daerah setempat. “Kalau mengurusi izin saja tak masalah, meski sebenarnya masih kurang layak. Tapi bagian lain yang perlu cepat hendaknya tetap di daerah,” cetusnya.

Dia tak habis pikir jika soal perpanjangan izin juga akan diambil alih pusat.Padahal cukup saja di daerah, tak perlu repot ke Jakarta. “Kalau izin baru silahkan saja ke pusat, kalau perpanjangan kan lebih tahu kondisi di daerah,” tambahnya.

Belum lagi soal reklamasi, ketika persoalan ini diambilalih pemerintah pusat, tak menutup kemungkinan berjalan tak maksimal. “Sekali lagi, persoalan di daerah, pemerintah daerahnya yang lebih tahu kondisinya,” ujarnya.

Menurutnya, langkah pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan ini tak menyelesaikan akar masalah. Dan malah merusak sistem yang ada. “Kami mengggap, kebijakan ini bukan langkah cerdas. Karena kalau akar masalahnya ada penyimpangan. Solusinya adalah pengawasan yang lebih dioptimalkan. Kan ada perwakilan pemerintah pusat ada di daerah, melalui kepala daerah,” tandasnya.

Sebelumnya, dua warga yang berprofesi sebagai petani dan nelayan mengajukan uji materi atau judicial review Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Para penggugat tersebut yakni Nurul Aini (46), petani dari Desa Sumberagung, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur; Yaman, nelayan Desa Matras, Kabupaten Sungailiat, Provinsi Bangka Belitung. Gugatan turut diajukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur.

"Tepat pada hari ulang tahun ke-60 Presiden Joko Widodo hari ini, rakyat Indonesia mengajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi atas 9 Pasal dalam UU Minerba No. 3 tahun 2020 tentang Perubahan UU Minerba No. 4 tahun 2009," ujar salah seorang penggugat dari WALHI, Dwi Sawung, Senin (21/6).

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Ekonomi Bulungan Tumbuh 4,60 Persen

Kamis, 28 Maret 2024 | 13:30 WIB

2024 Konsumsi Minyak Sawit Diprediksi Meningkat

Selasa, 26 Maret 2024 | 12:21 WIB
X