PROKAL.CO,
Di antara deru hempasan ombak dan semilir angin, dari balik gubuk reot terdengar lirih lantunan anak-anak membaca ayat suci Alquran. Unding si guru ngaji bolak-balik antara dapur dan ruang depan, lantai bambu berkerenyit menahan beban tubuhnya.
ZALYAN SHODIQIN ABDI, Kotabaru
Minggu (17/7) saya berkesempatan berkunjung ke Desa Teluk Aru Kecamatan Pulau Laut Kepulauan. Bersama beberapa anggota keluarga, menyisir pesisir yang berada di arah selatan Pulau Laut.
Pemandangan daerah sini memang luar biasa. Pasir surut jauh memutih. Di laut gugusan pulau-pulau dengan rumah dan kapal-kapalnya. Biru menyejukkan.
Jika kita menyapa, penduduk dengan lebih riang balas menyapa. Senyum mereka ramah dan tulus. Jarang sekali penduduk acuh jalan menunduk melihat hape. Di sini interaksi sosial masih sangat tinggi.
Di salah satu sudut Desa, terlihat sebuah rumah panggung. Dindingnya sebagian kayu sebagian bambu. Atapnya daun. Lantainya sebagian papan sebagian irisan bambu kecil.
Dari rumah itu tiap siang jelang sore suara anak mengaji biasa terdengar. Unding duda paruh baya beranak tiga tinggal di sana. Dia bekerja serabutan dan nyambi jadi guru mengaji.
Muliati tetangga Unding kepada saya menceritakan, murid ngajinya terbilang banyak. Karena Unding tidak minta bayaran. "Banyak sudah muridnya yang tamat mengaji. Banyak memang soalnya dia tidak minta bayar," kata Muliati.
Meski Muliati mengakui bahwa kehidupan Unding terbilang sulit. "Kasian sebenarnya dia. Makan saja kadang susah itu orang," katanya.
Hal senada juga dikatakan tetangga lainnya. Faridah mengatakan Unding adalah guru mengaji yang sangat sederhana. "Sabar sekali orangnya. Sendiri sudah dia hidupi anaknya, soalnya istrinya tidak ada lagi," ungkap Faridah.
Rata-rata penduduk di Teluk Aru mampu bercakap menggunakan bahasa Indonesia yang baik meski logat Sulawesi Barat mereka begitu kental terdengar.
Penasaran, saya pun mendatangi rumah Unding. Pria paruh baya ini mempersilakan ramah. Di dalam rumahnya tidak ada terlihat ranjang. Hanya ada tikar dan lubang-lubang lantai bambu. Di ruangan depan ada empat anak usia SD asik mengaji, tiga perempuan satu lelaki.
Di dapur terlihat peralatan makan seadanya. Memasak masih menggunakan kayu bakar. Di langit atap daun sudah berlubang sana-sini. "Iya kalau hujan masuk air ke dalam rumah," kata Unding.
Mengajar mengaji katanya hanya amalan saja. Dia percaya mengajari anak membaca ayat suci bisa mendatangkan kebaikan. "Tidak ada bayaran. Amalan saja ini," akunya.
Unding mengaku bahagia bisa mengajari anak-anak. Perasaan lelahnya bekerja jadi buruh serabutan terbayar manakala anak didiknya fasih atau tamat Quran 30 Juz.
Namun begitu katanya, biasa ada orang tua anak didiknya yang memberikan bantuan, beras, gula dan kebutuhan hidup lainnya.
Unding tidak sendiri ternyata. Juga ada beberapa warga di sana yang tinggal dalam rumah tidak layak huni. Ada rumah yang dindingnya saja masih pelepah rumbia. "Ya beginilah di sini. Mudahan ada bantuan dari pemerintah," kata Muliati. (al/ram)