PPKM dan Quote Einstein

- Senin, 26 Juli 2021 | 11:48 WIB

Pada saat menulis ini, Kalsel di ambang pembatasan lagi. Seorang teman yang datang ke kafe di mana saya bekerja part-time memperingatkan bahwa mungkin saja akan ada penutupan atau setidaknya pembatasan jam operasional. "Banjarbaru bakal level 4," katanya.

===========================
Oleh: RANDU ALAMSYAH
Editor Halaman 1 Radar Banjarmasin
===========================

Saya kurang begitu tahu konsekuensi dari level yang dimaksud. Saya bukan pengonsumsi keripik pedas dan telah berhenti main game sejak usia 12 tahun, jadi apa maksudnya level itu?

"Artinya, kafe mungkin saja bakal ditutup jam 8 malam," jelasnya.

Saya berkernyit.

"Atau malah tutup sama sekali," tambahnya kemudian.

Saya melongo. Sebagai orang yang biasa mengamati perilaku bisnis kafe di Banjarbaru, saya tahu kedua pilihannya sama saja. Jika kafe sudah ditutup jam 8 malam, itu artinya sudah tutup sebelum dibuka. Pengunjung kafe biasanya datang di atas jam 8 malam. Ini bukan restoran atau warung makan yang sudah ramai sejak pagi.

Celakanya, baik restoran warung makan tetap saja memiliki tagihan yang sama dalam setiap pembatasan. Diklaster dalam bisnis yang sama. Bisnis yang harus tutup atau dibatasi. Seolah corona memilih tempat dan waktu: hanya di kafe dan hanya pada malam hari.

Ada 200 lebih kafe di seluruh wilayah Banjarbaru--terbanyak dari semua daerah lain di Kalsel. Jumlah ini telah menciptakan sebuah rantai ekonomi yang besar sejak kopi dipasok, diolah, disajikan dan dikemas. Ada investasi alat dan sumber daya manusia di sana. Kafe-kafe ini menciptakan lapangan kerja, memutar roda ekonomi, dan memungkinkan para pegawai pemerintah tetap dapat digaji dengan baik dari uang pajak yang disetorkan.

Adanya pembatasan akan memukul aktivitas ekonomi dalam industri ini. Bisnis kafe, restoran, perhotelan, penerbangan, ritel --sebut saja akan merasakan dampaknya. Para pemain di industri ini akan memutar otak untuk menyiasati agar mereka terus bertahan. Tapi semua strategi tak akan membuat ekonomi membaik. Anda bisa menanyakan ini ke semua pelaku usaha di atas.

Mereka misalnya akan mulai mem-PHK karyawan. Kemudian akan mulai banyak yang tidak membayar tagihan, menambah jumlah kredit macet. Bank akan mewaspadai pinjaman, yang kemudian akan berdampak pada semua sektor lainnya.

Jika PPKM terus diperpanjang, efek bola salju terjadi, pekerjaan hilang dan lebih banyak usaha lagi yang mengalami kerugian. Lebih banyak PHK, permintaan ditekan dan akhirnya mengarah ke resesi yang buruk. Karena laba dan pendapatan rendah, pemungutan pajak pemerintah turun. Anehnya saya membaca di koran pemerintah ingin melakukan percepatan pemulihan ekonomi. Ini seperti minum kopi dari gelas yang ditutup rapat.

Saya mengerti semua pembatasan ini demi ikhtiar penanganan corona. Tapi kok rasanya sejak bernama Karantina wilayah, atau PSB, sampai PKM, PPKM, PPKM darurat, dan hingga PPKM mikro lalu, tidak ada rilis dari analisa manfaat dan risiko dari hasil kebijakan pembatasan. Seorang ekspert bahkan menyatakan kebingungannya baru-baru tadi: kenapa kasus-kasus justru melonjak saat ada pembatasan?

Saya tidak tahu. Aneh sekali. Seorang teman punya jawaban yang simpel: Karena kerumuman aparat yang merazia bisa lebih banyak dari jumlah pengunjung di tempat yang dirazia.
Tentu saja itu berlebihan. Tapi hingga laporan yang kredibel tentang efektivitas PPKM dirilis, kita tidak tahu sejauh mana hasil yang dicapai dari pembatasan yang pasti akan merugikan ekonomi ini.
Saya kira, mungkin sudah saatnya pemerintah kita memikirkan cara yang berbeda. Mungkin dengan fokus saja ke vaksinasi, bukankah itu yang telah kita nantikan dua tahun ini. Kenapa kita masih berusaha mengulang cara lama di awal pandemi sebelum vaksin ditemukan?

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kebakaran, Duit Sisa THR Ikut Hangus

Sabtu, 20 April 2024 | 09:15 WIB
X