Jam malam membuat Banjarmasin pada pukul 10 sudah seperti lewat tengah malam.
-- Oleh: Muhammad Syarafuddin
Saban pulang bekerja, saya harus berkendara dengan mata terbuka lebar. Kalau cuma melindas lubang jalan, tak masalah.
Yang celaka kalau menyerempet pejalan kaki atau pesepeda yang kebetulan berpakaian serba hitam.
Secara teori, saya tak boleh mengeluh. Itulah gunanya lampu depan diciptakan.
Tapi secara praktek, untuk motor bebek yang berumur dua dekade, fungsi lampu depan lebih sebagai hiasan. Ia menyala tapi tak menerangi.
Pengalaman itu kian sempurna ketika hujan turun. Sudah gelap, jalannya licin pula.
Mengenakan jas hujan transparan seharga Rp10 ribu yang lebih mirip kantong plastik belanja berukuran jumbo, seorang redaktur koran tampak berkibar-kibar.
Jadi, apakah sekarang menentang PPKM? Tegasnya, saya menentang jam malam yang absurd.
Saya ragu pagebluk bisa dihalau dengan mematikan lampu jalan. Tapi cukup yakin kurangnya penerangan bisa menambah angka kecelakaan lalu lintas.
Intinya, kalau ditanya satu-satu, setiap orang tampaknya memiliki alasan untuk membenci PPKM. Dan jam malam adalah alasan yang paling remeh.
Tak bisa dibandingkan dengan siswa yang sedang sakit hati. Baru kembali ke sekolah, malah disuruh belajar daring lagi.
Atau seorang pengusaha mal yang terpaksa merumahkan, bahkan memecat ratusan karyawannya.
Atau pasangan muda yang menunda resepsinya. Padahal musim hujan adalah musim kawin terbaik.