Di era senja media cetak, ada agen koran di Banjarmasin yang lebih memilih berdagang koran bekas. Namanya Haji Abdul Syukur. Inilah ceritanya.
-- Oleh: ENDANG S, Banjarmasin
SELESAI salat zuhur, pria 73 tahun itu langsung menuju teras rumahnya di Jalan Pangeran Samudera. Di situ menumpuk koran bekas. Tak hanya dari media yang terbit di Kalsel, tapi juga dari Kalteng.
Haji Syukur termasuk agen koran dan majalah paling senior di Banjarmasin. Menggeluti bisnis ini sejak tahun 70-an dari Gang Penatu yang tersohor itu.
Sebelum menjadi agen, kakek lima buyut ini dulunya meloper koran. Bertahun-tahun mengasong, ia mencoba peruntungannya.
Usahanya berhasil. Media-media mempercayai dan menyuplai produk kepadanya. Seperti Jawa Pos, Tempo, Nova, Bobo dan banyak lagi.
Usahanya maju pesat. Bukan hanya memasok ke kantor-kantor pemerintahan, lapak-lapak pengecer juga mengambil koran dan majalah dari tempatnya.
Meski sudah dibantu anak-anaknya, Haji Syukur tetap saja kewalahan. Ia kemudian merekut puluhan karyawan. Masa-masa indah ini berlangsung antara awal 80-an sampai awal 2000-an.
Ketika internet tiba, perlahan pembelinya terus menurun. Ia melihat pelanggannya ramai-ramai beralih ke media-media daring.
Haji Syukur terpaksa mengurangi karyawannya, satu demi satu sampai habis. Kelima anaknya sendiri sudah memiliki pekerjaan.
Hanya tersisa ia seorang yang bertahan di agen itu. “Paling terasa berat adalah tiga tahun terakhir, apalagi ada pandemi,” ujarnya lirih, Selasa (7/9).
Dahulu, ia mampu menjual puluhan ribu eksemplar per hari. Sekarang terjual ribuan pun sudah bagus. “Dulu bisa dapat Rp3 juta sehari,” kenangnya.
Sebelum dibagikan kepada pengecer dan peloper, koran dan majalah baru dengan bau tinta cetak, memenuhi rumahnya yang berukuran 7x7 meter tersebut.
Sekarang, digantikan oleh tumpukan koran bekas yang menguning dan berbau apak.