Masuk 1000 Wanita Terbaik Dunia yang Diusulkan untuk Nobel Perdamaian

- Rabu, 22 September 2021 | 14:14 WIB
INSPIRATIF: Harmawati menjahit kain sasirangan di Pulau Burung, Kotabaru. Dia menjadi tokoh penggerak pendidikan di pulaunya.
INSPIRATIF: Harmawati menjahit kain sasirangan di Pulau Burung, Kotabaru. Dia menjadi tokoh penggerak pendidikan di pulaunya.

Resah dengan mayoritas remaja di pulau tempatnya lahir buta huruf, Harmawati mendirikan sekolah pulau 25 tahun yang lalu. Kini ia menikmati masa tuanya dengan banyak penghargaan, beberapa berskala dunia.

-- Oleh: ZALYAN SHODIQIN ABDI, Batulicin

Pulau itu dekat dengan Tanah Bumbu. Namanya Pulau Burung. Kecil ukurannya. Jaraknya sekitar 20 menit pakai perahu mesin dari dermaga pusat kota. Pulau itu bisa dikelilingi jalan kaki tiga jam.

Mayoritas warganya nelayan. Tanaman buah banyak tumbuh di sana. Saat ini sedang panen durian. Tahun 90, jumlah rumah di pulau masih bisa dihitung jari. Harmawati tinggal bersama suaminya, Cunding. Tepat di tengah-tengah pulau.

Cunding kerja di perusahaan kayu, PT Kodeco. Keluarga kecil ini hidup sederhana. Layaknya warga yang tinggal di pulau kecil. Semua hal berjalan harmonis. Kecuali satu: pendidikan.

Kala itu, orang pulau yang mengenyam sekolah bisa dihitung jari. Salah satunya Harmawati, tamatan Sekolah Rakyat."Jadi dulu anak muda di sini kalau kawin pakai cap jempol. Rata-rata buta huruf, tidak bisa menulis," ceritanya kepada penulis, Selasa (21/9) petang.

Awalnya tidak terbersit keinginan membangun sekolah. Baru ketika anak keduanya masuk usia tujuh tahun, Harmawati mulai mengutarakan niatnya."Anak saya pertama sekolahnya terbengkalai. Sekolah jauh lokasinya. Dan dia sering ikut pamannya bekerja."

Anak-anak lain juga begitu. Sedikit bisa sekolah ke kota. Kalau pun sekolah biasanya putus. Ekonomi warga pulau terbatas. Pria usia sekolah dasar sudah kerja melaut bersama orang tua.

Punya cukup pengetahuan bekas di SR, Harmawati pun mengusulkan ke orang-orang. Di pulau harus ada sekolah. Biar dia yang mengajar, jadi anak-anak bisa tetap ke laut. Dirinya tidak perlu dibayar.

Ayah Harmawati termasuk yang paling awal setuju. Jika ada sekolah, cucunya tidak perlu ke seberang pulau. "Beliau yang bikin sekolah sama orang pulau," beber perempuan yang lahir 19 September 1956 ini.

Harmawati masih ingat. Tahun 1996 sekolah itu berdiri. Ukurannya tiga kali enam. Berlantai tanah, berdinding papan setengah bangunan. Atapnya hanya daun nipah. Dibangun dekat rumahnya. Namanya Sekolah Rakyat Tunas Nelayan. Diambil dari filosofi bahwa yang belajar di sana adalah anak para nelayan.

"Hampir semua anak-anak sekolah. Ada empat puluh murid pertama. Jangan bayangkan usianya tujuh tahun semua. Ada yang sudah 12 tahun," kenangnya.

Tiap hari ibu muda itu mengajar. Jika hujan mereka terpaksa berlindung. Kapur habis, suami yang belikan di kota pakai uang sendiri.

Tahun berganti. Murid-murid tambah banyak. Dibangun lagi satu sekolah. Sampai tahun ke tiga, lengkap tiga ruangan."Di sini saya kepayahan. Masuk kelas satunya, yang kelas lainnya ribut. Jadi pindah-pindah kelas. Sendiri masih soalnya."

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Pertanyakan Konsistensi Dinas PUPR

Selasa, 23 April 2024 | 08:45 WIB

Kebakaran, Duit Sisa THR Ikut Hangus

Sabtu, 20 April 2024 | 09:15 WIB
X