Cerita Mahasiswa Menjadi Guru di Sekolah Terpencil

- Senin, 27 September 2021 | 13:05 WIB
MENGABDI: Nurlita Juliana berfoto bersama dengan siswa-siswi SDN Patih Muhur Baru, Kecamatan Anjir Muara, Kabupaten Barito Kuala.
MENGABDI: Nurlita Juliana berfoto bersama dengan siswa-siswi SDN Patih Muhur Baru, Kecamatan Anjir Muara, Kabupaten Barito Kuala.

Bagi Nurlita Juliana, mengajar merupakan aktivitas yang menyenangkan. Melihat senyum para siswanya membuatnya kian bersemangat, walau pun harus mengajar di sekolah yang terpencil, dan jauh dari keramaian, serta sulit mendapatkan sinyal internet.

-- Oleh: JAMALUDDIN, Banjarmasin

Nurlita satu dari puluhan mahasiswa yang mengabdi untuk pendidikan di Kalimantan Selatan. Mahasiswi usia 22 tahun itu kuliah di Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin. Jurusan Progam Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Ia mengikuti program Merdeka Belajar Kampus Merdeka yang digalakan Kementerian Pendidikan.

Nurlita mengabdi di SDN Patih Muhur Baru, Kecamatan Anjir Muara, Kabupaten Barito Kuala. Ia harus pulang pergi dari rumahnya di Desa Jelapat 1, Kecamatan Tamban, Barito Kuala. Jarak yang ditempuh kurang lebih 26 kilometer.

Saat dihubungi via telepon, Minggu (26/9), Nurlita menceritakan pengalamannya mengajar di sekolah terpencil itu.
Setiap pukul 07.00 Wita ia sudah harus berangkat. Dengan sepeda motor, ia harus hati-hati karena akses jalannya rusak dan sempit. Saat berpapasan dengan mobil, salah satunya harus ada yang menepi.

“Memang jalannya tidak menanjak, tapi kalau hujan pasti becek. Kondisi jalan aspal banyak rusak dan amblas,” ceritanya.

Nurlita sudah mengabdi sejak bulan Agustus 2021. Mulanya, ia merasa lelah setiap hari melintasi jalan itu, tapi seiring waktu berjalan, ia mulai terbiasa dengan kondisi tersebut. “Pengabdian ini selesai sampai pertengahan bulan Desember 2021,” katanya.

Nurlita menjelaskan, pertama kali melihat sekolah ia sempat termenung. Melihat potret pendidikan di sekolah terpencil yang masih sangat tertinggal. “Bangunan sekolah memang dari tembok, tapi lantainya kayu dan ada yang berlubang,” katanya.

Ia menceritakan, letak sekolah berada di bantaran Sungai Barito. Hanya terpisahkan oleh akses jalan utama desa tersebut. Sekolah itu memiliki 7 ruangan, kondisi paling mengkhawatirkan ada di ruang kelas 1-3. Lantainya berlubang dan palfon banyak yang jebol. “Jadi di bawah lantai itu air, makanya sekolah didesain seperti rumah panggung,” tambahnya.

Tak jauh beda kondisi ruang kelas 4-6 juga demikian. Cat mulai memudar, ditambah fasilitas sekolah tidak memadai. Di sana masih menggunakan papan tulis kapur, meja dan kursi banyak yang rusak. Buku-buku di perpustakaan juga dimakan rayap. “Padahal, itu buku-buku baru. Mungkin karena tidak pernah dibaca,” ujarnya.

Nurlita mengajar di kelas 1 dan 2. Ia mengajar cara membaca, menulis, dan menghitung (Calistung). Siswanya juga tidak banyak. Satu kelas hanya 9 orang. Ia merasakan di masa pandemi seperti ini proses belajar mengajar jadi terganggu.

Bahkan karena dampak penutupan sekolah, para siswa kelas 1 terpaksa dinaikan kelas 2 walaupun mereka belum bisa membaca dan menulis. “Sedih, di sini juga siswa ada yang pakai seragam dan ada yang pakai baju biasa. Bahkan siswa ada yang pakai sandal,” katanya.

Yang membuatnya masih semangat, antusias para siswa untuk belajar sangat tinggi. Walaupun Nurlita sempat kewalahan karena mengajar siswa SD sangat berbeda dengan SMP atau SLTP. Tak hanya mengajar di kelas, ia juga punya misi lain.

Ada beberapa program kerja yang ia bawa seperti mengajak siswa untuk melek teknologi, kemudian melatih siswa membuat kain sasirangan dari saputangan, membuat hand sanitizer dari daun serai. Kemudian misi sekolah sehat, yakni membiasakan siswa membersihkan halaman sekolah. Semua proker ini diharapakn bisa membentuk karakter para siswa.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Banjarmasin Pulangkan 10 Orang Terlantar

Jumat, 26 April 2024 | 14:30 WIB
X