Jembatan Basit

- Rabu, 29 September 2021 | 12:37 WIB

Pemerintah boleh berencana menamai jembatan alalak itu apa saja, tapi publik saya kira sudah punya nama sendiri: Jembatan Basit. Ini adalah penghargaan tulus kepada Wakar yang telah menjaga keamanan di sana.

-- Oleh: Randu Alamsyah, Editor di Radar Banjarmasin

Profesi Wakar atau penjaga malam dan satpam adalah profesi yang sepi. Mereka duduk atau berdiri berjam-jam, seringkali dalam keheningan, menahan kantuk dan bosan, menahan diri dari dunia sekitar mereka yang bergerak dengan cepat.

Dulu, ini bukanlah profesi yang biasa dilakukan orang. Saya ingat, banyak gedung dan kompleks perumahan tidak memiliki penjaga. Ini bukan berarti tidak ada perampokan--kejahatan juga sering terjadi, tapi tidak ada yang merasa perlu mempekerjakan seseorang untuk berdiri di luar siang dan malam untuk mengamankan tempat mereka.

Saat ini, menemukan gedung atau kompleks tanpa penjaga sama langkanya dengan menemukan pejabat yang tidak korupsi. Para penjaga seringkali berombongan duduk di luar gedung, portal, pos, tempat parkir, --bahkan meski sudah ada kamera CCTV.

Entah kenapa, sekarang ini kita semakin perlu penjagaan. Orang -orang juga merasa perlu untuk menjaga dan mengawal sesuatu. Saya seringkali termenung setiap kali membaca berita tentang aparat pemerintah, ormas, atau tokoh yang berstatemen di media: kami akan jaga ini itu, kami akan mengawal ini itu.

Para pejabat banyak yang mempekerjakan banyak pengawal. Mereka bepergian dalam konvoi panjang dan dikawal fort raider, seolah-olah mereka telah berbuat sesuatu yang penting hingga layak untuk dijaga keamanannya.

Semua yang kita miliki sekarang tampaknya menjadi komoditas yang harus dijaga. Ketidak-amanan adalah problem dunia modern dan ini mungkin bisa menciptakan lapangan kerja bagi orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan, tetapi di sisi lain ini juga adalah sebuah kegagalan.

Penjaga ada karena kita gagal menawarkan pekerjaan yang menguntungkan bagi ribuan atau mungkin jutaan orang. Banyak para penjaga atau satpam kita yang sebenarnya meninggalkan semua yang diajarkan kepada mereka di perguran tinggi, dan memilih untuk duduk di kursi plastik setiap harinya hanya karena tidak ada pekerjaan yang lebih layak lagi.

Ini tidak berlebihan. Coba bicaralah dengan penjaga gedung perkantoran jika Anda punya waktu. Pahami siapa dia sebagai pribadi, dan tanyakan tentang apa yang dia lakukan sebelum dia akhirnya berakhir di pekerjaan yang dia lakukan saat ini. Ceritanya mungkin bakal mengejutkan Anda.

Penjaga kita jarang diperlakukan sebagai manusia. Perasaan mereka tidak penting, kenyamanan mereka tidak penting. Mereka harus menjaga properti setiap saat, dalam segala cuaca, sementara pemilik properti duduk di ruangan ber-AC tanpa memperhatikan panas, dingin, hujan, atau keberadaan nyamuk di luar.

Mereka digaji kecil dan berusaha mengumpulkan uang luaran yang tidak menentu. Untuk itu mereka sering merangkap sebagai orang suruhan untuk membeli rokok atau makanan dari warga atau pegawai kantor.

Saya membayangkan mereka berhubungan dengan banyak orang, berbagi kenangan singkat dengan anak-anak atau pribadi yang hampir tidak mengingat nama dan nasib mereka.

Mengenang nama seorang wakar melalui sebuah proyek infrastruktur mungkin terlalu romantis. Tapi ini adalah sebuah imbalan yang layak dan apresiasi puitis kepada banyak para pahlawan tanpa nama itu.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kebakaran, Duit Sisa THR Ikut Hangus

Sabtu, 20 April 2024 | 09:15 WIB
X