Oleh Muhammad Syarafuddin
ORANG Banjar menamai Rabu terakhir di bulan Safar dalam penanggalan Hijriah sebagai Arba Mustamir.
Semasa kecil, orang tua di rumah dan guru di sekolah selalu mewanti-wanti untuk tidak berkeluyuran pada hari tersebut.
Katanya hati-hati. Khusus buat hari itu, Allah menurunkan 320 ribu jenis bala ke muka bumi.
Ngeri juga, ketiban satu bala pun sudah cukup apes. Dan saya percaya saja.
Baru kala kuliah berkesempatan mempelajari bahwa tak ada dalil yang cukup kuat di balik Arba Mustamir.
Arba Mustamir ternyata merupakan pendapat beberapa ulama yang kemudian menjadi tradisi di tengah masyarakat.
Namun, bukan berarti saya akan menghukumi saudara yang mempercayainya. Silakan saja. Apalagi saya bukan ustaz.
Toh, amalan yang dianjurkan pada Arba Mustamir itu bagus-bagus saja. Seperti membaca surah Yasin dan memperbanyak istigfar.
Baru belakangan pula mengetahui bahwa Arba Mustamir tak hanya dihormati di Banua.
Di tanah Jawa, masyarakat Bantul memiliki tradisi memasak lemper raksasa saban Arba Mustamir. Kue itu kemudian dibagikan kepada warga sekitar.
Sedangkan di Aceh ada tradisi Makmegang. Masyarakat yang dipimpin seorang teungku, membaca doa bersama di tepi pantai.
Sejujurnya, saya sudah lama melupakan istilah Arba Mustamir ini. Baru mendengarnya kembali pada Jumat kemarin.
Saat khatib naik ke atas mimbar dan memilih topik ini. Dengan kepala terantuk-antuk saya mencomot sebagian penjelasannya.
Sang khatib menitipkan pesan kepada jemaah. Soal doa-doa khusus yang bagus dirapal sepanjang hari Rabu itu. Sayang, tak satu pun yang bisa saya ingat.
Tapi yang menarik, sebenarnya pengertian bala itu sendiri telah bergeser.
Dari bahasa agama ke bahasa percakapan harian, bala lebih dimaknai sebagai kesialan atau kecelakaan. Cenderung negatif.
Padahal, dalam Bahasa Arab, al-bala berasal dari kata baliya. Bersinonim dengan adalah al-ikhtibar (ujian).
Ujian bisa tampak buruk atau bagus. Contoh ujian yang buruk adalah penyakit. Sebaliknya, kekayaan dan ketenaran pun juga ujian.
Bedanya, yang pertama menuntut kesabaran. Yang kedua menuntut rasa syukur.
Ujian yang pertama dijauhi. Sampai ada ritual tolak bala. Sedangkan yang kedua diidamkan, kalau perlu dikejar-kejar.
Sampai sini, kita boleh bersepakat, bala sebenarnya tak mengenal kalender. Ia bisa datang kapan saja. Tak kenal bulan atau hari.
Contoh corona. Bala yang satu ini begitu langgeng. Tak terasa kita telah hidup bersama pagebluk selama satu tahun enam bulan.
Sebelum menulis tema ini, saya sempat meminta saran seorang kawan. Dengan setengah bercanda ia menyatakan, Arba Mustamir datang dua hari lebih cepat.
Senin tadi, pemerintah pusat memperpanjang PPKM level 4 di Banjarmasin sampai 18 Oktober. Astagfirullah. (*)