Tugu 9 November di Banua Anyar, Banjarmasin menjadi saksi sengitnya pertempuran mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia di Banjarmasin. Di sini, terukir sembilan nama pejuang yang gugur saat penyerangan markas Tangsi Militer NICA Belanda 9 November 1945 silam, di Benteng Tatas yang sekarang menjadi Masjid Raya Sabilal Muhtadin.
Sembilan kesuma bangsa itu adalah, Badran, Badrun, Utuh, Umur, Ta’in, Juma’in, Sepa, Dulah, dan Pak Ma’rupi. Dinding relief yang berada di area tugu berwarna emas, menggambarkan sengit dan heroiknya perlawanan mereka tergabung dalam Barisan Pemberontakan Republik Indonesia Kalimantan (BPRIK) itu.
Tokoh sentral BPRIK adalah Amin Effendy yang meningal sejak tahun 2007 lalu. Dialah yang menjadi panglima pemberontakan ini. Alimun Hakim, putra Amin Effendy bercerita, pada pertempuran Jumat 9 November 1945 lalu, ayahnya sempat kena tembak peluru panas polisi NICA. “Dari cerita ayah, beliau sempat dipapah ke rumah mereka yang berada di seberang tangsi militer NICA yang saat ini menjadi Mapolda Kalsel.
Saat serangan itu, tak hanya sang ayah yang bersimbah darah, beberapa pejuang pun mengalami hal yang sama, bahkan ada yang sampai gugur karena peluru otomatis NICA. “Ayah masih selamat meski diterjang peluru tentara NICA,” tuturnya kemarin.
Dari keterangan sang ayah kepadanya, serangan awal itu dimulai pukul 14.00 Wita. Kala itu usai shalat Jumat. Ayahnya memimpin pengepungan tangsi polisi NICA yang saat ini menjadi Mapolda Kalsel. “Kata sang ayah, pertahanannya sangat kuat. Dari senjata otomatis hingga panser diturunkan melawan pejuang,” ucapnya bercerita.
Saking tangguhnya pertahanan NICA, pasukan BPRIK pun berpindah menyerang kompi NICA yang lain, yakni ke pertahanan yang saat ini menjadi Makorem 101/Antasari saat ini di Jalan Jenderal Sudirman Banjarmasin.
Masih menurut cerita sang ayah, pertempuran tak seimbang. Jika pasukan NICA menggunakan senjata modern, sementara pejuang masih menggunakan senjata api biasa dan senjata tajam berupa mandau, tombak hingga parang. “Almarhum bercerita pertempuran berlangsung empat jam lebih. Dari pukul 14.00 hingga 18.30 Wita,” katanya.
Sang ayah juga bercerita kepadanya. Peristiwa 9 November 1945 di Banjarmasin lalu itu dilatari peristiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 di Jakarta yang didengar oleh pemuda Banjarmasin. “Tanggal 9 November adalah puncak serangan total, setelah serangan-serangan kecil yang tiap hari dilakukan. Ketika itu saat bulan Ramadan,” ingatnya saat sang ayah bercerita ketika masih hidup.
Pengamat sejarah FKIP ULM, Mansyur, pertempuran 9 November1945 di Banjarmasin adalah awal revolusi fisik di Kalsel.
Bermula kedatangan NICA yang membuat terkejut para tokoh politik yang sebelumnya telah menyusun pemerintah Republik Indonesia di Kalsel oleh Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah Kalimantan.
Lebih mengejutkan lagi adalah, saat terjadinya larangan pawai Merah Putih pada 10 Oktober 1945 yang akan diadakan di seluruh Kalsel dalam rangka memeriahkan terbentuknya Pemerintahan Republik Indonesia di Kalsel.
Siasat NICA untuk melemahkan perjuangan ialah dengan cara menarik tokoh-tokoh politik yang bersedia bekerja dengan NICA, dan siasat ini berhasil dengan menarik Pangeran Musa Ardikesuma bekerjasama dengan NICA sebagi Kiai Kepala dan melepaskan Jabatan Residen Republik Indonesia.
Sadar terhadap kelemahan politik tersebut, para pemuda berjuang dengan cara sendiri untuk memperoleh kemerdekaan dan mengusir pemerintahan NICA di Kalsel.
“Bentuk perjuangan tersebut adalah sebuah gerakan rahasia yang dibentuk pada 16 Oktober 1945 dengan nama Barisan Pemberontakan Republik Indonesia (BPRIK) yang dipimpin Amin Effendy, Abdul Kadir Uwan dan yang lainnya,” kata Mansyur kemarin.
BPRIK anggotanya terdiri dari para pemuda, khususnya para bekas Heiho. Organisasi ini cepat berkembang di daerah Hulu Sungai. “Di Rantau di pimpin oleh tokoh politik seperti H Makkie dan H Mahyudin dengan nama BPPKI (Barisan Pelopor Pemberontak Kalimantan Indonesia),” sebutnya.
Dikatakannya, pada 1 November 1945 sebuah insiden terjadi. Dua orang tentara Belanda tewas dikeroyok pemuda. “Hal ini merupakan bukti pergulatan kekerasan spirit merdeka telah terjadi,” tambah Mansyur.
Selain peristiwa pembunuhan tersebut, telah direncanakan pula oleh pimpinan BPRIK, bahwa pada tanggal 1 ke 2 November 1945 malam, akan digerakkan suatu aksi pemuda untuk merampas senjata di kantor polisi yang akan dipimpin oleh Amin Effendy. Melaksanakan rencana tersebut, dibentuklah kelompok-kelompok pemuda dalam beberapa sektor.
Sasaran yang menjadi rencana penyerbuan adalah tangsi polisi NICA. Yakni di Jalan Jawa, Rumah Sakit Ulin hingga benteng Tatas dan Pelabuhan Banjarmasin yang saat itu sedang berlabuh dua buah kapal Cruiser kepunyaan sekutu (Australia). “Persiapan yang belum matang dan belum ada pengalaman mengakibatkan NICA dengan musah mencium rencana kegiatan tersebut, setelah mata-mata NICA juga berhasil menyusup,” paparnya.
Usai hari itu, disusunlah serangan lanjutan. Yakni pada 9 November. Tepat pada hari dan waktu yang ditentukan, serangan pun dilakukan. Pertemuran sengit pun tak terlakkan yang membuat gugurnya 9 pejuang yang kini dibangun dua tugu peringatan. Satu di titik pertempuaran di Jalan Jawa, sekarang Jalan DI Pandjaitan dan di Jalan Banua Anyar. (mof/by/ran)