Berjuang Tanpa Dikenang

- Rabu, 10 November 2021 | 13:27 WIB
KENANGAN KELUARGA: Haji Muhdar memegang foto kakeknya Haji Muhammad Nurung, tokoh agama yang bertempur membela kota Pagatan. | FOTO: ZALYAN SHODIQIN ABDI/RADAR BANJARMASIN
KENANGAN KELUARGA: Haji Muhdar memegang foto kakeknya Haji Muhammad Nurung, tokoh agama yang bertempur membela kota Pagatan. | FOTO: ZALYAN SHODIQIN ABDI/RADAR BANJARMASIN

"Usappuru no', nde' usappuru menre," ucap Haji Muhammad Nurung saat menuruni tangga rumahnya. Wasiat bahasa Bugis itu membuat mata Haji Muhdar berkaca-kaca.

- Oleh: ZALYAN SHODIQIN ABDI, Pagatan

Muhdar memegang sebuah foto hitam putih. Wajah dua orang itu mirip. Itulah foto kakeknya Haji Muhammad Nurung bin Guru Mallo. Di foto bertuliskan: panglima raja. Sorot matanya kuat.

Di ruang tamunya di Pagatan, Muhdar mengisahkan perjuangan Nurung melawan Belanda pada Kamis 7 Februari 1946. Di meja depannya asbak tembaga zaman dulu berukir dalam.

"Sebulan sebelum turun perang, dia sudah mendatangi semua rumah keluarganya di Desa Batarang," kata Muhdar.

Nurung berpesan ke semua famili, jangan pernah tinggalkan salat. Juga meramalkan dalam waktu dekat akan ada huru-hara di Pagatan."Dia sudah tahu akan ada kejadian besar. Sudah lama tahu. Firasat."

Kamis 7 Februari 1946 usai salat Subuh, Nurung turun tangga rumahnya. Khas Bugis, tinggi ada kolongnya. Tombak di tangan kanannya berkilau. Sudah diasah tajam-tajam.

Ketika turun Nurung berucap: "Usappuru no', nde' usappuru menre'. Artinya dia usap pegangan tangga saat turun rumah, pulangnya nanti pegangan tangga itu tidak akan dia pegang lagi.

Pendekar itu rupanya telah punya firasat, di medan perang nanti dia akan gugur. Mengulang kalimatnya di tangga, mata Muhdar tampak berkaca-kaca.

Berpakaian serba putih lengkap surban. Berjalan kaki dari Desa Batarang ke Pagatan. Sepanjang jalan banyak pasukan rakyat datang bergabung. Langkah kakinya panjang-panjang.

"Kenapa mau perang? Prinsipnya membela negara itu wajib. Begitu ajaran agama," lanjut Muhdar.

Matahari sudah naik, ketika Nurung sampai di Kampung Baru Pagatan. Dekat laut. Ada jembatan. Bunyi bom dan senjata berat memekak di pantai. "Jangan mundur satu langkah pun," komando Nurung ke pasukan di belakangnya.

Bertemulah dia dengan serdadu Belanda. Tombak dia ayunkan dengan kuat. Satu musuhnya tewas. Sementara itu peluru tajam dari Belanda tidak mampu menembus kulitnya.

Kata Muhdar, Nurung meninggal tanpa luka fisik. Ketika surbannya lepas, gugur pula raganya ke bumi.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

X