"Usappuru no', nde' usappuru menre," ucap Haji Muhammad Nurung saat menuruni tangga rumahnya. Wasiat bahasa Bugis itu membuat mata Haji Muhdar berkaca-kaca.
- Oleh: ZALYAN SHODIQIN ABDI, Pagatan
Muhdar memegang sebuah foto hitam putih. Wajah dua orang itu mirip. Itulah foto kakeknya Haji Muhammad Nurung bin Guru Mallo. Di foto bertuliskan: panglima raja. Sorot matanya kuat.
Di ruang tamunya di Pagatan, Muhdar mengisahkan perjuangan Nurung melawan Belanda pada Kamis 7 Februari 1946. Di meja depannya asbak tembaga zaman dulu berukir dalam.
"Sebulan sebelum turun perang, dia sudah mendatangi semua rumah keluarganya di Desa Batarang," kata Muhdar.
Nurung berpesan ke semua famili, jangan pernah tinggalkan salat. Juga meramalkan dalam waktu dekat akan ada huru-hara di Pagatan."Dia sudah tahu akan ada kejadian besar. Sudah lama tahu. Firasat."
Kamis 7 Februari 1946 usai salat Subuh, Nurung turun tangga rumahnya. Khas Bugis, tinggi ada kolongnya. Tombak di tangan kanannya berkilau. Sudah diasah tajam-tajam.
Ketika turun Nurung berucap: "Usappuru no', nde' usappuru menre'. Artinya dia usap pegangan tangga saat turun rumah, pulangnya nanti pegangan tangga itu tidak akan dia pegang lagi.
Pendekar itu rupanya telah punya firasat, di medan perang nanti dia akan gugur. Mengulang kalimatnya di tangga, mata Muhdar tampak berkaca-kaca.
Berpakaian serba putih lengkap surban. Berjalan kaki dari Desa Batarang ke Pagatan. Sepanjang jalan banyak pasukan rakyat datang bergabung. Langkah kakinya panjang-panjang.
"Kenapa mau perang? Prinsipnya membela negara itu wajib. Begitu ajaran agama," lanjut Muhdar.
Matahari sudah naik, ketika Nurung sampai di Kampung Baru Pagatan. Dekat laut. Ada jembatan. Bunyi bom dan senjata berat memekak di pantai. "Jangan mundur satu langkah pun," komando Nurung ke pasukan di belakangnya.
Bertemulah dia dengan serdadu Belanda. Tombak dia ayunkan dengan kuat. Satu musuhnya tewas. Sementara itu peluru tajam dari Belanda tidak mampu menembus kulitnya.
Kata Muhdar, Nurung meninggal tanpa luka fisik. Ketika surbannya lepas, gugur pula raganya ke bumi.
Perjuangan rakyat Pagatan melawan agresi militer Belanda itu demikian sengitnya. Dari tempat sandar kapal musuh di Tanjung Petang berjalan kaki ke Pagatan hanya butuh waktu setengah jam. Tapi Belanda baru bisa masuk kota Pagatan setelah sembilan jam bertempur.
Kegagahan Nurung di medan perang membuat Belanda penasaran. "Raganya sempat diminta Belanda mau dibawa. Mau diperiksa, apa yang dia pakai jadi tidak mempan peluru."
Tapi keluarga menolak. Benarlah wasiat Nurung, dia sampai di rumahnya di Batarang dengan cara ditandu. Dia tidak lagi memegang tangga saat tiba di sana.
Bagaimana kehidupan Nurung? Muhdar menyesal tidak terlalu ingat. Kapan lahir sang kakek ia juga tahu. Ayahnya yang banyak kisah. Tapi juga sudah berpulang.
Yang jelas, Nurung adalah putra dari ulama Guru Mallo. Nurung sendiri dikenal panglima raja-raja. Perlawanannya begitu melegenda. Namanya diabadikan di salah satu jalan kota Pagatan.
Sebelum pandemi, tiap karnaval kemerdekaan selalu ada memakai busana mirip Nurung. "Sederhana pastinya waktu hidup. Gak suka merokok. Hobinya mengaji," ucap Muhdar.
Keturunan Raja Pagatan, Andi Satria Jaya mengatakan, pergolakan Pagatan bisa disebut paling dramatik di Kalsel. "Pagatan yang pertama di Kalsel bikin mosi perjuangan setelah Indonesia merdeka," ujarnya.
Karakter pejuang rakyat Pagatan sebutnya terbentuk salah satunya karena koneksi komunikasi ke Jawa. "Kala itu banyak tokoh kita berada di Jawa. Alur lintas laut kita itu koneksi langsung ke Jawa".
Para pemuda Pagatan tergabung dalam Kerukunan Pemuda dan Mahasiswa Pagatan di 1968 mengusulkan 7 Februari jadi hari pahlawan nasional. "Mengingat begitu heroiknya Pagatan mengangkat senjata," tekannya.
Dia berharap para pahlawan Pagatan masuk namanya dalam catatan Pahlawan nasional. "Dan untuk anak muda Pagatan, ayo kenang itu sebagai cambuk. Kita ini semua keturunan darah pejuang."(zal/by/ran)