Nasib Warga Transmigrasi, Rumah Hampir Rubuh ke Lubang Tambang di Tanbu

- Senin, 22 November 2021 | 18:42 WIB
DI TEPI TAMBANG: Jumadi dan tetangganya Suharti berdiri di tepi lubang tambang Desa Banjarsari Kecamatan Angsana. Tampak sisa kamar mandi Jumadi yang rusak akibat longsor. | FOTO: ZALYAN SHODIQIN ABDI/RADAR BANJARMASIN
DI TEPI TAMBANG: Jumadi dan tetangganya Suharti berdiri di tepi lubang tambang Desa Banjarsari Kecamatan Angsana. Tampak sisa kamar mandi Jumadi yang rusak akibat longsor. | FOTO: ZALYAN SHODIQIN ABDI/RADAR BANJARMASIN

BATULICIN - Malam-malam warga di beberapa desa Kecamatan Angsana kini berganti. Puluhan tahun silam, adem suara jangkrik. Anak-anak berlari di bawah rembulan.

 

Sekarang raung alat berat dan debu batu bara menemani mereka. Lubang-lubang dalam berair, berpengumuman: awas ada buaya. Transmigrasi hijau royo-royo itu telah berubah.

 

Sabtu (20/11), Jumadi dan tetangganya Suharti berdiri gamang di belakang rumah mereka. Lubang tambang batu bara dalam menganga di ujung kaki.

Kamar mandi Jumadi rubuh. Masuk ke lubang. Puluhan karet Suharti miring, tanahnya longsor. Rumahnya retak-retak. Dua bulan lalu kejadiannya. Untung tidak ada korban jiwa.

"Dulu di sana kampung. Masjid besar desa di situ," tunjuk Jumadi ke tengah lubang tambang yang dipenuhi air.

Di salah satu sudut, terlihat tumpukan batu bara. "Warga menutup jalan. Batu tidak boleh ke luar. Sebelum ganti rugi beres," tambahnya.

Jumadi mengaku perusahaan tambang masih berutang Rp400 juta. Rumah dan tanahnya deal Rp800 juta. Suharti mengaku sudah deal Rp1,2 miliar. Belum dibayar.

"Saya disuruh cari tanah dulu Rp50 ribu se meter. Untuk pindah. Tapi di mana cari tanah segitu? Makanya kami minta saja Rp1,2 miliar," beber istri Wowor itu, sambil menggendong anaknya.

Kepala Dusun Banjarsari, Hendra Herdiana tinggal di tengah desa. Beberapa tahun silam dia adu urat leher dengan perusahaan tambang. Rumahnya juga berada di tepi lubang. "Saya dan dua kepala rumah tangga bertahan. Karena ganti rugi murah," ujarnya.

Berbeda dengan perusahaan yang dikeluhkan Jumadi, perusahaan yang dia lawan berizin dari pusat. "Tapi saya mau gak mau deal. Rp250 juta. Gak deal, rumah saya bakalan rubuh juga," kenang pria yang akrab disapa Ujang itu.

Ujang bercerita. Desanya dulu adalah kawasan transmigrasi. Mereka tidak tahu jika di bawah tanah ada emas hitam. Baru di kisaran 2008, alat-alat berat mulai masuk. Tahun-tahun kemudian, izin-izin tambang ke luar di sana. "Banyak sekali. Saya gak hapal," akunya.

Kebun-kebun warga berubah jadi lubang. Perusahaan tambang merayu satu-satu pemilik lahan untuk menjual asetnya. Yang bertahan terakhir kemudian tidak punya pilihan. Menjual atau rubuh kena longsor.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kebakaran, Duit Sisa THR Ikut Hangus

Sabtu, 20 April 2024 | 09:15 WIB
X