Nekat Merantau ke Pemalang, Sukses Cetak Sejarah

- Rabu, 1 Desember 2021 | 07:09 WIB
MENGINSPIRASI: Sabran (44) saat menunjukkan alat untuk mengajar berupa huruf braille di ruang kelasnya, Selasa (30/11). | FOTO: JAMALUDDIN/RADAR BANJARMASIN
MENGINSPIRASI: Sabran (44) saat menunjukkan alat untuk mengajar berupa huruf braille di ruang kelasnya, Selasa (30/11). | FOTO: JAMALUDDIN/RADAR BANJARMASIN

 

Keterbatasan fisik bukan alasan bagi Sabran (44) untuk berhenti bermimpi. Anak petani dari Hulu Sungai Tengah (HST) berhasil melampaui batasnya dan meraih impian. Penyandang Tunanetra ini menjadi guru dengan status PNS di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Barabai.

- Oleh: JAMALUDDIN, Barabai

Setiap pukul 07.00 Wita, Sabran mengayuh sepeda dari rumahnya di Desa Banua Jingah, Kecamatan Barabai menuju sekolah di Jalan Pagat Sarigading, Desa Banua Binjai, Kecamatan Barabai, Hulu Sungai Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan. Di SLB Barabai, Sabran mengajar anak-anak penyandang tunanetra. Mulai dari tingkat SD, SMP, SMA.

Seolah menjadi pelita dalam gelap, sosok Sabran mestinya bisa menginspirasi para guru-guru. Bahkan menjadi inspirasi bagi anak didiknya. Kegigihannya dalam mengenyam pendidikan mengantarkannya kepada kehidupan yang layak.

SLB Barabai merupakan almamaternya. Pada tahun 1984, dia pertama kali masuk sekolah tersebut. Tiap pagi dia diantar ayahnya menuju sekolah menggunakan sepeda ontel. Menyusuri jalanan desa yang dulu masih berbatu. Jaraknya kurang lebih 4 kilometer. Tahun itu sekolah belum memiliki asrama.

Alhasil ayahnya tidak bisa setiap hari mengantar, karena juga sibuk mengurusi ladang. “Jadi tahun awal sekolah hanya 5 bulan. Setelah itu tidak sekolah lagi,” ceritanya saat ditemui Radar Banjarmasin di ruang kelas, Selasa (30/11).

Singkatnya pada tahun 1989 di SLB Barabai membuka asrama. Sabran kemudian dihubungi pihak sekolah untuk diajak sekolah lagi. Hampir 4 tahun tidak sekolah, setelah kembali ke sekolah Sabran langsung masuk di kelas empat. Pada tahun 1992, dia lulus di SD di sekolah tersebut.

Berhubung waktu itu belum ada jenjang pendidikan SMP, Sabran kemudian melanjutkan pendidikannya di SLB Fajar Harapan Martapura. Selama tiga tahun sekolah, dia tak hanya belajar ilmu akademik. Sabran juga dilatih keterampilan memijat. “Di Martapura ada asramanya. Semua kebutuhan ditanggung oleh Dinas Sosial waktu itu. Jadi pagi sekolah, sorenya belajar memijat,” kata ayah dua anak ini.

Sabran lulus tahun 1995. Dia kebingungan ingin melanjutkan jenjang pendidikan SMA. Pada tahun itu di Kalsel belum ada sekolah inklusi. Akhirnya dia memutuskan untuk hijrah menuju Kota Pemalang, Jawa Tengah lewat jalur laut.

Dengan keterbatasan penglihatan, Sabran sendirian merantau. Uang saku secukupnya, dia memberanikan diri menjelajah di kota orang. Sampai di Kota Pemalang, tujuannya adalah Panti Sosial Bina Netra Dista Rasta.

Bermodal alamat, dan petunjuk orang-orang akhirnya sampai ke tempat tujuan. Sayangnya, di sekolah itu jenjang sekolah formal SMA untuk SLB belum dibuka. Baru akan dibuka satu tahun ke depan. Alhasil selama satu tahun, Sabran tinggal di asrama itu sambil mendalami keterampilan pijat.

Akhirnya pada tahun 1996, dibuka sekolah SMA untuk tunanetra di panti sosial tersebut. Sabran menjadi murid pertama kala itu bersama tiga siswa di SMA LB Pemalang. Lanjut sekolah, dia tetap mendalami keterampilan memijat dan membuat karya tangan lainnya.

Sabran lulus SMA pada tahun 1999. Bukannya kembali ke Banua, Sabran justru melanjutkan pendidikan ke jenjang sarjana. Dia mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi negeri di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Dia lulus di Fakultas Pendidikan dan Keguruan Jurusan Pendidikan Luar Biasa.

Halaman:

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Diduga Hendak Tawuran, 18 Remaja Diamankan

Minggu, 17 Maret 2024 | 18:55 WIB

DPRD Kota Banjarmasin Usulkan 732 Pokir

Jumat, 15 Maret 2024 | 14:35 WIB

Sudah Diimbau, Remaja di Tapin Tetap Balapan Liar

Kamis, 14 Maret 2024 | 14:35 WIB
X