Keterbatasan fisik bukan alasan bagi Sabran (44) untuk berhenti bermimpi. Anak petani dari Hulu Sungai Tengah (HST) berhasil melampaui batasnya dan meraih impian. Penyandang Tunanetra ini menjadi guru dengan status PNS di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Barabai.
- Oleh: JAMALUDDIN, Barabai
Setiap pukul 07.00 Wita, Sabran mengayuh sepeda dari rumahnya di Desa Banua Jingah, Kecamatan Barabai menuju sekolah di Jalan Pagat Sarigading, Desa Banua Binjai, Kecamatan Barabai, Hulu Sungai Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan. Di SLB Barabai, Sabran mengajar anak-anak penyandang tunanetra. Mulai dari tingkat SD, SMP, SMA.
Seolah menjadi pelita dalam gelap, sosok Sabran mestinya bisa menginspirasi para guru-guru. Bahkan menjadi inspirasi bagi anak didiknya. Kegigihannya dalam mengenyam pendidikan mengantarkannya kepada kehidupan yang layak.
SLB Barabai merupakan almamaternya. Pada tahun 1984, dia pertama kali masuk sekolah tersebut. Tiap pagi dia diantar ayahnya menuju sekolah menggunakan sepeda ontel. Menyusuri jalanan desa yang dulu masih berbatu. Jaraknya kurang lebih 4 kilometer. Tahun itu sekolah belum memiliki asrama.
Alhasil ayahnya tidak bisa setiap hari mengantar, karena juga sibuk mengurusi ladang. “Jadi tahun awal sekolah hanya 5 bulan. Setelah itu tidak sekolah lagi,” ceritanya saat ditemui Radar Banjarmasin di ruang kelas, Selasa (30/11).
Singkatnya pada tahun 1989 di SLB Barabai membuka asrama. Sabran kemudian dihubungi pihak sekolah untuk diajak sekolah lagi. Hampir 4 tahun tidak sekolah, setelah kembali ke sekolah Sabran langsung masuk di kelas empat. Pada tahun 1992, dia lulus di SD di sekolah tersebut.
Berhubung waktu itu belum ada jenjang pendidikan SMP, Sabran kemudian melanjutkan pendidikannya di SLB Fajar Harapan Martapura. Selama tiga tahun sekolah, dia tak hanya belajar ilmu akademik. Sabran juga dilatih keterampilan memijat. “Di Martapura ada asramanya. Semua kebutuhan ditanggung oleh Dinas Sosial waktu itu. Jadi pagi sekolah, sorenya belajar memijat,” kata ayah dua anak ini.
Sabran lulus tahun 1995. Dia kebingungan ingin melanjutkan jenjang pendidikan SMA. Pada tahun itu di Kalsel belum ada sekolah inklusi. Akhirnya dia memutuskan untuk hijrah menuju Kota Pemalang, Jawa Tengah lewat jalur laut.
Dengan keterbatasan penglihatan, Sabran sendirian merantau. Uang saku secukupnya, dia memberanikan diri menjelajah di kota orang. Sampai di Kota Pemalang, tujuannya adalah Panti Sosial Bina Netra Dista Rasta.
Bermodal alamat, dan petunjuk orang-orang akhirnya sampai ke tempat tujuan. Sayangnya, di sekolah itu jenjang sekolah formal SMA untuk SLB belum dibuka. Baru akan dibuka satu tahun ke depan. Alhasil selama satu tahun, Sabran tinggal di asrama itu sambil mendalami keterampilan pijat.
Akhirnya pada tahun 1996, dibuka sekolah SMA untuk tunanetra di panti sosial tersebut. Sabran menjadi murid pertama kala itu bersama tiga siswa di SMA LB Pemalang. Lanjut sekolah, dia tetap mendalami keterampilan memijat dan membuat karya tangan lainnya.
Sabran lulus SMA pada tahun 1999. Bukannya kembali ke Banua, Sabran justru melanjutkan pendidikan ke jenjang sarjana. Dia mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi negeri di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Dia lulus di Fakultas Pendidikan dan Keguruan Jurusan Pendidikan Luar Biasa.
Setelah terjun ke dunia kampus, Sabran bersusah payah bertahan di ibu kota. Kebutuhannya tak lagi ditanggung panti, dia harus berjuang sendiri mencari uang. Biaya hidup dan kuliah harus ditanggung sendiri. Dia juga sempat merahasiakan kuliahnya kepada orang tua, sebab tak ingin membuat mereka terbebani.
Dalam situasi ini, dia memanfaatkan keterampilan pijatnya. Pagi sampai siang dia kuliah. Sedangkan malam hari keliling ke rumah warga seputaran Kompleks Kehakiman, Jakarta Timur menjual jasa pijat. Hanya bermodal tongkat besi sebagai pegangan. Banyak suka dukanya, seperti kehujanan karena tidak tahu ke mana mau berteduh, serta pernah dikejar anjing. “Untungnya saya bawa tongkat besi sebagai alat pelindung,” kata penyandang tunanetra yang masih memiliki sisa penglihatan ini.
Dia menekuni profesi ini hampir dua tahun. Setelah itu bekerja di panti pijat yang lebih profesional. Sabran tak perlu keliling ke rumah warga lagi. Beban keuangannya mulai membaik setelah dapat kerjaan ini. Sesekali dapat bantuan dari pasien pijatnya yakni Iskandar Zulkarnain.
Sabran waktu kuliah juga mendapat beasiswa Supersemar. “Dari semester 4 sampai lulus, Alhamdulillah beban berkurang,” bebernya. Sabran menyelesaikan kuliahnya pada tahun 2004. Setelah lulus pun, dia tidak langsung kembali ke Kalsel. Dia bertahan menjadi tukang pijat profesional selama satu tahun untuk mengumpulkan uang.
Singkat cerita dia kembali ke Kota Pemalang, Jawa Tengah untuk menjadi tenaga honor pramuka dan instruktur pijat untuk tunanetra. Sabran menggeluti pekerjaan ini selama tiga tahun. Dia juga sambil mencari formasi PNS yang sesuai dengan jurusannya. “Cita-cita dari kecil ingin jadi PNS,” kisahnya.
Tahun 2007, Sabran sempat mengikuti seleksi CPNS di Kementerian Sosial namun gagal. Akhirnya tahun 2008, dia kembali ke Banua karena untuk pertama kali dibuka lowongan CPNS di SLB Barabai. Dia lulus, dan tahun 2009 resmi diangkat menjadi PNS sampai sekarang. “Saya jadi pertama kali dalam sejarah diterima menjadi PNS guru tunanetra di Hulu Sungai Tengah,” ucapnya.
Dalam hidupnya, Sabran selalu memegang prinsip bahwa setiap masalah pasti ada solusi. Di setiap keterbatasan pasti ada jalan keluar. Prinsip itulah yang membuat Sabran akhirnya menjadi sosok guru yang ulet dan pekerja keras.(az/dye)