BATULICIN - Tambang batu bara sejatinya memberikan kesejahteraan bagi warga. Namun faktanya berbanding terbalik. Warga resah. Jalan rusak, debu, longsor sampai banjir menghantui rakyat.
Di Tanah Bumbu, bukan perkara mudah. Menemukan warga yang berjuang membela haknya. Dari dampak negatif pertambangan. Terbaru ada Jumadi dan Suharti Desa Banjarsari Kecamatan Angsana. Rumah mereka hampir rubuh ke lubang tambang. Saat ini, mereka masih berjuang untuk harga ganti rugi.
"Saya ditawar setengah dari harga. Padahal rumah saya sudah retak. Saya diminta cari lahan di dalam sini juga. Ya sama saja, nanti kan bisa kena tambang lagi," ujar Suharti, Selasa (30/11) kemarin.
Di sisi lain. Pemerintah daerah kesulitan menyelesaikan semua masalah yang ditimbulkan tambang. Anggaran daerah terbatas.
Belum lama tadi, pemerintah daerah Tanah Bumbu mencoba mencari jalan ke luar. Usut punya usut, ternyata ada puluhan perusahaan tambang yang sebagian usahanya memakai jalan daerah.
Ada perusahaan yang memakai jalan daerah sejak 2014 silam. Hingga sekarang. Tanpa ada kontribusi terkait pemakaian jalan itu."Kami juga kaget. Mengapa bisa pakai aset daerah tanpa ada kejelasan," ujar Kepala Dinas PUPR Subhansyah.
Menyikapi fakta itu rapat-rapat digelar. Ternyata Tanah Bumbu memiliki Perda No 4 Tahun 2066. Yang kemudian diperbaharui dengan Perda No 1 Tahun 2016.
Dalam peraturan daerah itu diatur beberapa hal terkait kontribusi perusahaan ke daerah. Kemudian didukung juga dengan Permen PUPR No 11 Tahun 2011 tentang jalan khusus.
Dialog dengan perusahaan kemudian intens dilakukan. Tidak mudah. Beberapa perusahaan terlihat melakukan perlawanan. Beralasan sudah setor pajak dan lainnya."Mereka tidak sadar. Bahwa itu kewajiban. Sementara yang ini adalah hak daerah. Jalan kita dipakai angkut batu bara," jelas Subhansyah.
Kemarin, salah satu perusahaan yang memiliki jalan khusus mendatangi kantor pemerintahan di Gunung Tinggi. Mencoba menjajaki aturan itu.
Walau sempat terjadi perdebatan alot, tapi perusahaan tampaknya manut. "Mereka setuju. Izin mereka harus disesuaikan dengan Permen PUPR itu," jelas Asisten Bupati Bidang Perekonomian dan Pembangunan, Rahmat Prapto Udoyo.
Penggunaan aset daerah sebutnya telah diatur dalam Permen PUPR. Daerah memang berhak mendapat keuntungan.
Kadis Perhubungan Marlan menjelaskan. Dari data kasar mereka. Ada puluhan perusahaan memakai aset daerah. Mengapa baru saja diketahui? Marlan mengaku, daerah baru-baru saja mencatat semua aset.
Dia membenarkan, banyak kerancuan di lapangan. Misalnya ada overpass yang dilalui truk tambang terbuka. Sementara di bawahnya lewat warga."Memang banyak yang harus dibenahi. Dana kalau perusahaan tidak mau, kami berhak menutup jalan (daerah) yang mereka lalui," tegasnya.
Penataan aset daerah yang digunakan perusahaan lanjut Marlan, berawal dari keresahan. Betapa Tanah Bumbu kaya raya, tetapi masyarakat kebanyakan hanya mendapat dampak buruk pertambangan.
Anggapan itu mendapat dukungan dari anggota DPRD Tanah Bumbu Fawahisah Mahabatan. "Apa sih kontribusi tambang selama ini ke daerah," ujarnya.
Fawa menjelaskan. Di era awal Tanah Bumbu, tambang sejatinya bisa dirasakan geliat ekonominya oleh warga. Kepemimpinan saat itu ujarnya mampu memanfaatkan maksimal fungsi otonomi daerah.
Namun kemudian, kegiatan tambang menjadi ekslusif. Dimiliki hanya sekelompok orang. Aliran dana tambang banyak masuk ke pribadi. "Tidak ada upaya, untuk memaksimalkan keuntungan tambang buat kas daerah," akunya.
Buktinya jelas Fawa adalah temuan begitu banyaknya aset daerah yang dipakai cuma-cuma selama sekian tahun. Untuk kegiatan tambang. "Jadi sudah tepat kalau itu dikejar. Mana untuk daerah," tekannya.
Dia juga mengkritisi bantuan-bantuan CSR yang sering diagungkan sebagai kontribusi. "Cek saja. Ada CSR yang malah menguntungkan perusahaan itu. Misalnya bikin jalan, eh jalannya malah mereka pakai," kecamnya.
Dari pantauan wartawan di lapangan, Tanah Bumbu memang surganya batu bara. Begitu banyak pribadi yang kaya raya dari sana. Tetapi warga sekitar tambang masih banyak hidup apa adanya. Padahal di bawah rumah mereka lah emas hitam itu berada.
Jangan tanya soal perubahan kualitas hidup. Sungai-sungai yang dulu berair jernih, dipakai mandi dan cuci, sekarang seperti teh susu. Jika hujan berubah seperti adonan susu cokelat raksasa.
Beberapa tahun silam, Desa Sungai Danau ramai. Perputaran uang begitu tinggi. Orang-orang merantau ke sana. Lokalisasi menjamur. Sekarang, ketika batu mulai habis, berjejer ruko-ruko dengan tulisan: dijual. (zal/by/ran)