Wajah letihnya pucat. Mendengar biaya penetapan ahli waris Rp490 ribu. Penjual kue itu perlu surat dari pengadilan agama. Untuk mengambil uang tidak seberapa, di rekening suaminya yang baru saja meninggal.
---
Tidak pernah terbayang di benak Risna Sari (43), dia akan ditinggalkan suami bersama anaknya yang masih SD, selama-lamanya. Warisan hanya rumah satu buah, kendaraan metik yang tidak bisa ia kendarai, hape android, dan rekening tabungan Bank Mandiri.
Suaminya, Amas meninggal belum ada sebulan lalu. Mendadak. Rekan-rekan suaminya di perusahaan pun tidak menduga. Fisiknya sehat meski memang perokok obsesif. Bahkan dalam sakit pun masih menagih rokok.
"Lebih baik mati sekarang, kalau gak boleh merokok," kata saudaranya Wahyuni, mengutip kalimat almarhum saat di rumah sakit.
Suami Sari hanya petugas keamanan di PT Multi Perkasa Abadi Semesta. Tiap pagi semasa hidup, dia mengantar anak perempuannya sekolah. Lalu menemani istri membuat kue. Sederhana pola hidupnya. Bergaul seadanya saja.
Masuk rumah sakit memang rutin. Pola makan dan kerjaan masa muda di tambang terbuka sepertinya jadi sebab. Livernya rusak. Namun, biasa tidak lama dirawat. Istirahat sebentar, sembuh.
Ketika sakit terakhir, keluarga pun tidak ada was-was. Semua datang seperti tiba-tiba. "Sepertinya pergi tidak ingin menyusahkan siapa-siapa," kata ponakannya.
Tinggallah Sari dengan anak semata wayangnya. Anak yang dia peroleh di usia yang tidak lagi muda. Dia nikah sudah lama, tapi telat dapat keturunan. Melalui ikhtiar ini dan itu.
Selamatan-selamatan yang digelar mulai menguras uang tunai Sari. Persediaan habis. Dia kesulitan. Ke luar rumah berurusan harus jalan kaki.
Ada satu peninggalan suami yang dia otak-atik bersama anaknya. Hape android. Di dalamnya ada aplikasi mobile banking. Sang anak kebetulan tahu sandinya. Dibuka, terlihat saldo beberapa juta.
ATM dicari. Ketemu. Tapi mereka tidak tahu sandinya. Coba-coba main ke mesin ATM. Pin dimasukkan: tanggal lahir. Salah. Tanggal lahir anak: juga salah. Berikutnya nomor acak. Tiga kali salah, ATM diblokir bank. Uang habis sudah. Terpaksa pinjam.
Lalu, dicoba lagi otak-atik pin transaksi mobile banking. Rencananya kalau berhasil, uang akan dikirim ke rekening keluarga lainnya, baru ditarik. Gagal juga.
Ke bank lah Sari. Pelayanan orang bank khas, ramah. Semua syarat-syarat yang harus disodor Sari diberitahukan. Ternyata syarat-syarat hampir lengkap. Pak RT dan Pak Kades di Desa Sejahtera Kecamatan Simpang Empat, rupanya telah membantu. Yang kurang hanya: surat penetapan ahli waris dari Pengadilan Agama Batulicin.
Senin (13/12), Sari ke Kelurahan Gunung Tinggi. Sekitar 16 kilometer dari rumahnya. Di Gunung Tinggi, sebelah kanan berdiri besar Kantor Pengadilan Agama. Warna cokelat.
Dia dalam kantor, seorang petugas wanita memeriksa dokumennya. Oalah. Ternyata ada lagi yang kurang. Surat silsilah ahli waris dari desa. "Nanti saya urus," ujar Sari.
Dikira itu saja, ternyata ada lagi. Uang panjar. Uang itu mesti disetor sebelum Pengadilan digelar. "Berapa uang panjarnya," tanya Sari. Petugas lalu menanyakan, berapa orang ahli waris. Petugas wanita lainnya tampak hitung-hitung. Ke luar angka: Rp490 ribu. Kurang sepuluh ribu, pas setengah juta.
Mendengar angka itu Sari terdiam. Tidak ada kata-kata ke luar dari bibirnya.
Hampir semua waktu Sari dihabiskan di rumah. Dia tahunya bagaimana membuat kue enak, hasil penjualan diputar untuk hidup. Angka setengah juta rupanya memukul nalarnya. Tidak ada tanya, tidak ada tawaran, Sari memilih pulang.
Di jalan pulang, ekspresi ponakannya marah. "Mengapa begitu mahal? Jaman canggih begini, di mana kesulitannya menetapkan ahli waris? Semua data sudah bisa dicek digital," keluhnya.
Dia marah. Pengadilan Agama sudah dijelaskan. Surat ahli waris hanya digunakan untuk membuka blokir ATM di bank. Uang yang dicairkan pun tidak seberapa. Hanya menyambung dapur.
Yang ia sesalkan lanjutnya, tidak ada tanya dari Pengadilan Agama saat itu, apakah Sari bisa bayar uang panjar atau tidak. "Pengadilan waktu itu sepi," ucapnya terbata.
Birokrasi berbelit itu ternyata begitu menguras kantong mereka yang tidak mampu. Beruntung Pak RT dan Pak Kades di tempat Sari, sigap membantu. Tidak minta uang rokok.
Beberapa waktu sebelumnya, janda muda berinisial NR bercerita kepada penulis. Dia sudah lama pisah dengan suami. Tapi belum punya surat cerai. Si suami sudah kawin lagi.
"Kadang susah. Karena status masih nikah. Tapi, kalau dipikir-pikir, daripada harus urus surat cerai sejuta lebih, mending uangnya buat susu anak," ujarnya.
NR bekerja honor di Pemkab Tanah Bumbu. Dia pontang-panting beri makan anaknya. Tangannya hampir tidak berhenti main hape. Jualan online.
Kadang katanya terpikir untuk melegalkan perceraian. Tapi balik lagi. Kondisi ekonomi membuatnya tidak ada pilihan. Padahal sudah ada beberapa pria mencoba mendekatinya. Dia juga berharap, biaya berperkara bisa lebih masuk akal.
Tetapkan Biaya Perkara Tergantung Jarak
Dari mana sebenarnya tarif biaya di Pengadilan itu? Mereka ternyata menetapkan sendiri biayanya.
Termuat di website mereka. Berupa Keputusan Pengadilan Agama Batulicin nomor W15-A13/108/HK.05/1/2021. Dalam keputusan itu tertulis kalimat, bahwa panjar biaya perkara wajib hukumnya dibayar.
Di lembar selanjutnya, ada lampiran biaya-biaya perkara. Paling murah biaya cerai gugat. Untuk warga yang berada di Radius I, total biaya Rp850 ribu. Paling jauh ada Radius V, biayanya Rp2,9 juta.
Radius itu adalah jarak rumah warga ke kantor pengadilan.
Walau total biaya besar, dana yang masuk kas negara justru kecil sekali. Untuk tarif Rp850 ribu itu, PNPB (masuk kas negara) totalnya hanya Rp60 ribu. Angka PNPB itu sama dengan yang biaya Rp2,9 juta.
Yang mahal ternyata adalah biaya panggilan-panggilan. Untuk radius satu, biaya panggilan per orang Rp90 ribu. Dua kali panggilan Rp180 ribu. Belum lagi biaya panggilan tergugat sebanyak tiga kali. Bahkan ada lagi biaya redaksi putusan Rp10 ribu. Materi dan materai putusan. Biaya proses dan pemberitahuan putusan tergugat. Intinya, semua proses dikenakan biaya.
Humas Pengadilan Agama Ade Fauzi, Kamis (16/12) kemarin membenarkan semua data itu. Tapi jelasnya, total itu asumsi. Jika dalam panggilan pertama kasus selesai, maka biaya penggilan ke dua akan dikembalikan.
"Angka itu tidak berubah selama lima tahun," ujarnya.
Maksud Ade, angka itu justru murah. Karena lima tahun tidak berubah. Padahal menurutnya, harga-harga terus mengalami kenaikan selama lima tahun terakhir.
Biaya panggilan yang mahal itu sebutnya adalah ongkos perjalanan juru sita memberitahukan ke rumah warga. Dalam setahun ini ada 1200 kasus mereka tangani. Juru sita sendiri, hanya seorang. Hakim ada enam orang.
Melihat total kasus perkara, maka juru sita bisa mengantongi paling sedikit Rp72 juta dalam setahun. Itu kalau yang berperkara hanya satu orang. Kalau dua orang berperkara, juru sita bisa dapat Rp144 juta. Untuk kasus cerai, yang berperkara pastinya lebih satu orang.
"Gak (pakai Pajero). Dia cuma pakai sepeda motor," kata Ade ketika ditanya apa merek mobil juru sita.
Benarkah juru sita datang ke rumah-rumah? Pengakuan beberapa warga, mereka hanya ditelepon. Ade tidak menampik. "Ditanya apakah ada di rumah," ujarnya. Namun dia menegaskan, SOP nya juru sita pasti datang ke rumah memanggil.
Dalam sehari lanjut Ade dia bisa menangani hingga dua puluh kasus. Dia mengklaim tidak menerima dana dari uang panjar. Dia hanya memakan gaji bulanan. Total ada enam hakim di sana.
Berbeda dengan lampiran putusan, menurut Ade biaya panggilan radius satu adalah Rp60 ribu. Terkait kasus Sari, penetapan ahli waris jika dua orang, maka total biaya Rp120 ribu. Asumsi dua kali panggilan totalnya jadi Rp240 ribu. Tambah biaya lainnya, total lebih tiga ratus.
Sulitkah mengeluarkan surat penetapan ahli waris. Kata Ade, sidang bisa selesai satu kali. Jika semua dokumen lengkap dan valid. Plus ada saksi yang menguatkan. "Saksi minimal dua orang keluarganya."
Untuk data, mereka masih cek manual. Tidak memanfaatkan konektivitas ke Disdukcapil. Alasan manual, untuk menghindari kemungkinan dokumen palsu. "Kan harus dicek hologramnya. Asli atau tidak."
Lalu apa solusi buat yang tidak mampu Pengadilan Agama ternyata ada program. Biayanya gratis. Syaratnya warga cukup bawa surat keterangan tidak mampu. Kabar baik ini ujarnya, mungkin masih banyak belum diketahui masyarakat.
Jika mau murah lagi anjurnya, warga bisa mendaftar perkara lewat online. Jika dilakukan maka biaya panggilan jadi nol. Karena pemberitahuan panggilan akan dilayangkan via email. Tapi warga tetap harus datang mengisi berkas ke kantor.
Dimintai tanggapannya, anggota DPRD Tanah Bumbu Fawahisah Mahabatan langsung mengeluarkan nada tinggi. "Lima tahun tarif tidak berubah? Tidak tahukah mereka ini sedang pandemi? Ekonomi rakyat tiarap!," pekiknya.
Sudah acap dia mendengar keluhan warga soal biaya di Pengadilan Agama. "Saya lupa. Ini jadi ingat lagi. Memang sering warga mengeluh itu. Janganlah ada kesan mempersulit warga. Tolong sekali, seperti ibu itu tadi ya? Kan dia mengurus penetapan waris untuk beli beras. Kasian sekali."
Fawa pun meminta Pengadilan Agama mengkaji ulang biaya panjar. "Tapi itu tadi. Saya percaya semua ada email. Pakai itu saja, gak usah lagi biaya panggilan. Zaman canggih begini."
Dia lalu menyarankan pengadilan untuk membuat aplikasi elektronik. Sehingga warga tidak perlu pulang pergi hanyar mengurus dokumen yang tercecer. "Berapa kasian biaya pulang balik urus ini itu. Orang misalnya lagi gundah, kalau kenapa-napa di jalan?."
Murah saja lanjutnya biaya membuat aplikasi android pendaftaran perkara. Kalau itu sudah dibuat, ia optimis tidak ada lagi janda resmi secara agama yang tidak memiliki surat cerai.
Tambahan pula, pengadilan ikut berkontribusi melakukan percepatan. Karena sudah memangkas birokrasi yang panjang. "Tidak semua orang sama nasibnya. Ada yang bekerja hanya untuk beli beras hari ini. Kalau sehari dia tinggalkan waktu urus dokumen-dokumen ke pengadilan, berasnya siapa yang belikan?" katanya.
Fawa kemudian mendesak, pengadilan segera buat aplikasi online. Itu menurutnya telah sesuai kondisi sekarang. Zaman pandemi sudah membuat warga akrab dengan internet. (zal/by/ran)