Ketika menerima pengumuman melalui email, Betya Sahara tidak percaya dirinya menerima penghargaan dari ajang Southeast Asian Educational Innovation Award. Dia bahkan mengira kabar baik itu adalah penipuan.
- Oleh: SUTRISNO, Banjarbaru
Penghargaan inovasi pendidikan Asia Tenggara atau Southeast Asian Educational Innovation Award sukses diraih seorang guru SLB Negeri Kota Banjarbaru bernama Betya Sahara.
Warga Jalan A Yani Km 20, Kecamatan Landasan Ulin Banjarbaru tersebut berhasil menyingkirkan ratusan peserta lain se-Asia Tenggara dalam ajang yang digelar oleh Southeast Asian Ministers of Education Organization (Seameo) Innotech tersebut.
Seameo Innotech adalah organisasi Menteri Pendidikan Asia Tenggara yang berkantor pusat di Manila, Filipina.
Betya mengaku sebelumnya tidak percaya menerima penghargaan dari SEAMEO, karena ajang yang diikutinya tingkat Asia Tenggara. "Mimpi pun tidak berani, karena awalnya hanya ingin berpartisipasi," katanya.
Saking tidak percayanya, ketika menerima pengumuman lewat email dirinya menangis dan mengira kabar tersebut penipuan. "Saya lalu tanya-tanya dengan yang paham bahasa inggris yang lebih baik, apa benar artinya saya menang dan dapat awardnya. Ternyata benar," papar Betya.
Dia menyebut, dalam ajang tersebut ada dua kategori. Yakni, guru dan kepala sekolah. "Saya mendapatkan penghargaan kategori guru," sebutnya.
Penghargaan tersebut ujar dia, digelar untuk mengakui prestasi guru, pekerja pendidikan masyarakat dan pekerja pendidikan lainnya yang membuat perbedaan kehidupan peserta didik dan masyarakat melalui penerapan ide kreatif dalam kegiatan belajar.
"Misal dengan menggunakan alat, konsep, proses atau kombinasi yang baru dan kreatif untuk menghasilkan hal baru dan lebih baik," ujarnya.
Saat mengikuti ajang tersebut, Betya mengirimkan karya tulis ilmiah tentang praktik pembelajaran yang sudah dilakukannya di SLB Negeri Banjarbaru. Yakni, penggunaan aplikasi pembelajaran untuk anak tunarungu buatannya.
"Karya saya berhasil mendapatkan nilai tertinggi dan menyentuh hati dewan juri internasional yang menilai ratusan karya yang masuk," ucapnya.
Karena melalui aplikasi tersebut kata dia, anak-anak penyandang tunarungu dapat belajar bina bicara dan presepsi bunyi di mana saja meski sedang dalam pembelajaran jarak jauh.
Wanita 34 tahun ini menjelaskan, cara kerja belajar menggunakan aplikasi yang dibuatnya sendiri itu ialah meminta anak-anak mendengarkan suara yang dikeluarkan. "Guru menekan tombol, lalu anak mendengarkan apakah ada bunyi atau tidak ada bunyi," paparnya.
Menariknya, Betya mengaku membuat aplikasi tersebut menggunakan platform gratisan. "Namanya Mit App Invertor," pungkasnya. (ris/by/ran)