No Fee, No Proyek

- Kamis, 30 Desember 2021 | 15:30 WIB
DISUMPAH: (ki-ka) Rahmani Noor, Marwoto dan Taufikurrahman diambil sumpah sebelum memberikan kesaksian dalam sidang di Pengadilan tipikor PN Banjarmasin, Rabu (29/12). | FOTO: ENDANG SYARIFUDIN/RADAR BANJARMASIN
DISUMPAH: (ki-ka) Rahmani Noor, Marwoto dan Taufikurrahman diambil sumpah sebelum memberikan kesaksian dalam sidang di Pengadilan tipikor PN Banjarmasin, Rabu (29/12). | FOTO: ENDANG SYARIFUDIN/RADAR BANJARMASIN

BANJARMASIN – Dua terdakwa kasus gratifikasi di Hulu Sungai Utara Marhaeni dan Fachriadi kembali disidangkan di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Rabu (29/12).

Jaksa Tito Jaelani kali ini menghadirkan kontraktor Taufikurrahman, Kabid Bina Marga Rahmani Noor dan Kasi Jembatan Bidang Marga Marwoto Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU).

Sekitar tiga jam dimintai kesaksiannya, ketiganya blak-blakan membenarkan permintaan fee Bupati HSU yang saat itu dijabat Abdul Wahid terhadap para kontraktor pemenang tender. Kondisi ini menurut mereka sudah berlangsung lama.

Bahkan Kontraktor Taufikurrahman dalam keterangannya mengaku aturan main dalam proyek. Jika kontraktor tidak mau memberi fee, mereka tidak akan diberikan proyek lagi pada tahun anggaran mendatang.

“Kalau tidak memberikan fee yang diminta, bakal sulit mendapatkan proyek kedepannya,” katanya di hadapan majelis hakim yang dipimpin Jamser Simanjuntak.

Mengenai teknis mendapatkan proyek, Taufik mengaku berdasarkan pengalaman pribadinya, dia dihubungi seorang perantara bernama Arif, dan disuruh untuk mengajukan penawaran kontrak untuk mengikuti lelang salah satu proyek.

Dia mengaku tidak tahu pasti bagaimana teknis penunjukan pemenang, yang jelas, proses lelang tetap dijalani seperti biasa. Setelah positif mendapatkan proyek. Ia pun menyerahkan fee 15 persen yang disepakati sebelumnya.

“Saya pernah menyerahkan fee sebesar Rp210 juta secara bertahap, lewat Arif, Mujib dan ada juga melalui Plt Kadis PUPRP HSU, Maliki,” jelasnya.

Saksi lainnya, Rahmani mengatakan, dalam suatu pertemuan bersama sejumlah Pejabat Dinas PUPR lainnya di Aula samping rumah dinas Bupati HSU di Tahun 2020 lalu, Ia pernah mendengar bahwa Bupati memang meminta fee sebesar 13 persen dari masing-masing kontraktor pemenang tender pekerjaan. “Tapi saya tidak tahu untuk siapa saja fee itu,” katanya.

Sedangkan saksi Marwoto mengatakan, Ia sudah mengetahui adanya permintaan fee oleh Bupati HSU, Wahid sejak tahun 2019. Saat itu sebesar 10 persen. Tahun 2020 pernah mendengar permintaan bupati fee yang diminta awalnya sebesar 6 ditambah 5 persen, tapi belakangan meningkat menjadi 8 persen ditambah 5 persen.

“Tidak tahu, katanya cuma untuk mengurusi anggaran,” kata Marwoto.

Jaksa KPK RI, Tito Jaelani ditemui usai sidang mengatakan, pada persidangan Selasa (5/1) 2022 mendatang, akan menghadirkan Bupati HSU non aktif, Abdul Wahid dan Plt Kadis PUPR HSU, Maliki.“Sidang selanjutnya, saksi terakhir Wahid dan Maliki,” ucapnya.(gmp/by/ran)

 

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Akali Dana PNPM, Dituntut 1,9 Tahun Penjara

Jumat, 29 Maret 2024 | 10:27 WIB

Balaskan Dendam Kawan, Keroyok Orang Hingga Tewas

Kamis, 28 Maret 2024 | 18:10 WIB

Setelah Sempat Dikeroyok, Seorang Pemuda Tewas

Kamis, 28 Maret 2024 | 08:00 WIB
X