Dunia Baru yang Mencemaskan

- Jumat, 31 Desember 2021 | 11:01 WIB

Ada banyak kekecewaan yang meruak saat Timnas Indonesia kalah dari Thailand di Final Piala AFF. Saya yang nonton bareng di kafe merasakan kesedihan merambat dari bangku ke bangku dan segera, seperti biasa, emosi itu beresonansi ke media sosial.

Semua orang merutuk di media sosial, tapi kebanyakan tak kehilangan nada jenaka. Kalah telak 4-0 bukan sesuatu yang mudah, khususnya di negeri di mana orang-orang memuja sepak bola. Tapi seperti biasa, kekalahan dalam kompetisi apapun, bagi kita tak pernah menjadi hal yang serius.

Banyak isu dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya kita--tidak lagi menjadi persoalan serius. Rentang perhatian kita memendek. Satu isu baru akan segera ditindih dengan isu berikutnya dalam hitungan menit. Dan sebelum kita bahkan mengetahui keseluruhan ceritanya, cerita baru mengantre untuk kita simak.

Kadang-kadang saya rindu 2019. Bukan karena itu adalah waktu sebelum corona, tetapi karena di masa itu, setidaknya kita memiliki wacana sosial yang terfokus: Pilpres yang mempertemukan Jokowi dan Prabowo.

Hari ini, kita tidak memiliki itu. Kita tidak peduli pada semakin banyak hal. Ada kecenderungan bahwa keyakinan lama pada orang, institusi, bahkan norma, sudah menghilang.

Tiba-tiba melalui lensa pandemi, kita melihat bahwa semua keyakinan kita telah kehilangan pijakan. Kita terekspos pada berbagai realitas yang banyak di antaranya tidak kita kenal, apalah lagi mengantipasinya.

Dalam dunia yang berubah secara dramatis, kepolosan masa lalu hanya tinggal cerita. Beberapa ide bahkan diolok-olok sebagai bagian dari kenaifan yang memalukan. Cinta romantis yang kita kenal dalam sastra, lagu, dan film-film kini direduksi menjadi bucin--istilah aneh dengan citra yang tidak selalu baik.

Kita bahkan semakin tidak aspiratif dalam politik. Banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan para politisi dan penyelenggara negara kita, yang tidak lagi menjadi perhatian serius. Politik dalam arti lama--cara mengelola masyarakat--kini menjadi istilah lain untuk penipuan dan pencarian kekayaan pribadi.

Dan kita semakin toleran dengan hal itu. Dulu jika pemerintah melakukan kebijakan bodoh, protes terjadi di jalan-jalan. Seiring waktu, demo tidak lagi menjadi tren. Orang-orang mengkritik lewat media sosial. Saat ini, kita menyebut orang seperti itu sebagai tukang nyinyir.

Sebuah dunia baru sedang dibentuk saat ini. Cara baru, asumsi baru, aturan baru, politik baru, gaya hidup baru sedang dalam progres. Pandemi mungkin mempercepatnya, tetapi garis konturnya sebenarnya sudah dipahat dalam setidaknya tiga tahun terakhir.

Kadang-kadang saya mengalami kecemasan dalam menghadapi ketidak-pastian saat ini. Saya rindu kehidupan dunia lama. Dunia di mana orang-orang masih berbicara tentang buku, seni, agama, politik, sepak bola, dan hal-hal lain--dengan upaya yang sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran. Saat ini kebenaran mungkin sudah lewat jauh, dan saya mungkin juga Anda, termangu-mangu di terminal zaman--kedinginan oleh angin perubahan yang bertiup kencang. ()

 

Editor: miminradar-Radar Banjarmasin

Tags

Rekomendasi

Terkini

Rem Blong, Truk Solar Hantam Dua Rumah Warga

Kamis, 28 Maret 2024 | 19:00 WIB

Masalah Pendidikan Jadi Sorotan Ombudsman

Kamis, 28 Maret 2024 | 16:50 WIB

Gempa 3,3 Magnitudo Guncang Kotabaru

Kamis, 28 Maret 2024 | 15:58 WIB

Januari hingga Maret, 7 Kebakaran di Balangan

Selasa, 26 Maret 2024 | 15:35 WIB
X