Pemerintah meyakini, begitu HET minyak goreng dicabut, kelangkaan di pasar akan berakhir. Apakah demikian? Di Kota Banjarmasin, dampaknya belum terlihat. Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperdagin) Kota Banjarmasin, Ichrom M Tezar mengaku tak bisa berbuat banyak. “Kami hanya berharap minyak goreng bisa kembali tersedia di pasar tradisional dan modern,” ujarnya kepada Radar Banjarmasin, (17/3).
Pemerintah hanya coba mengerem harga minyak goreng curah. Disubsidi menjadi Rp14 ribu per liter.
Tetap saja, mengacu HET yang lama, harganya sudah naik Rp3 ribu per liter. Jika ada imbasnya, maka Disperdagin memastikan operasi pasar murah sudah dihentikan.
Tezar juga mengingatkan tentang adanya penimbunan. “Kenyataannya di lapangan masih langka. Beberapa kali kami turun ke ritel dan gudang-gudang, kami menemukan indikasi penimbunan,” tukasnya. Dia juga meminta warga untuk tak terbawa panic buying. Atau aksi memborong yang malah akan semakin memperparah keadaan.
Sementara Ica, ibu rumah tangga yang tinggal di Sungai Andai, mengaku masih kesulitan menemukan minyak goreng. Bahkan dengan harga paling mahal sekalipun.
“Masih sulit. Ini saya masih mencari-cari,” ujarnya ketika tengah berbelanja di Pasar Teluk Dalam.
Sedangkan Dinur, warga Jalan KS Tubun ini mengkhawatirkan harga-harga barang menjelang bulan puasa nanti.
“Kemarin saya membeli 10 liter. Buat persediaan menghadapi bulan Ramadan,” akunya.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen (YLK) Kalsel, Ahmad Murjani tak sepakat harga minyak goreng diserahkan untuk diatur pasar. Sebab, menyangkut harga barang kebutuhan pokok, harus tetap dalam kendali pemerintah. “Jangan sampai terjadi, pengusaha yang malah mengendalikan pemerintah,” sesalnya, (1/3).
Tak hanya membuat para ibu rumah tangga cemas, pelaku usaha kecil juga bakal kewalahan. Apalagi bulan Ramadan sudah di depan mata.
DICARI: Warga membeli minyak goreng kemasan di ritel di Jalan Rantauan Darat, Banjarmasin Selatan. Tampak rak yang hampir
kosong
“Sangat mungkin, banyak usaha rumahan yang menjual makanan dan minuman akan menutup usahanya,” tambahnya. “Masyarakat sudah tidak berdaya. Mau teriak atau mengadu ke mana? Hanya bisa bersabar,” lanjut akademisi Universitas Cahaya Bangsa tersebut.Adakah saran untuk mengurangi dampaknya?
Dia berharap, para kepala daerah di Kalsel mau mengalokasikan sedikit anggaran. Memberikan subsidi minyak goreng. Tentu untuk warga miskin yang berhak. “Mungkin, skenarionya adalah gubernur, bupati dan wali kota menyisihkan APBD-nya untuk menggantikan subsidi pusat,” tutup Murjani.
HET telah dicabut. Pemerintah resmi mengembalikan harga minyak goreng kemasan pada mekanisme pasar.
Namun, rupanya masih ada pedagang yang belum mengetahuinya. Masih bertahan dengan harga lama Rp17 ribu sampai Rp19 ribu per liter. Contoh Usai. Pedagang di Pasar Lama itu mengaku baru menyadarinya setelah diberi tahu teman sesama pedagang.
“Pantas pagi tadi awal membuka toko langsung diborong,” ujarnya, (17/3). Karena stoknya habis, ia sudah memesan ulang. Dengan harga Rp21 ribu sampai Rp23 ribu per liter tergantung merek. “Kalau harganya sudah segitu, paling tidak saya menjual ulang Rp24 ribu sampai Rp25 ribu. Kalau kemasan dua liter belum tahu,” tambahnya.
Sedangkan Ijai terpikir untuk berpindah menjual minyak goreng curah saja. “Kondisi serba sulit begini, apalagi mendekati bulan puasa dan lebaran,” ujarnya.
Pantauan Radar Banjarmasin di sebuah ritel di Jalan S Parman, harganya sudah diperbarui. Rp51 ribu untuk kemasan dua liter dan Rp25 ribu untuk kemasan satu liter. Dulu, pembeli dijatah hanya boleh membeli satu bungkus per orang. Sekarang, pembatasan tak lagi berlaku, boleh membeli sebanyak-banyaknya.
Lina, warga Beruntung Jaya, tak sepakat dengan pencabutan HET. “Sangat keberatan,” kata perempuan 44 tahun itu. Di toko dekat rumahnya, harga minyak goreng sudah Rp50 ribu untuk kemasan dua liter. “Pilihan yang tersisa bagi ibu rumah tangga adalah mengubah cara memasak. Biasanya digoreng, diganti dipanggang atau dipepes,” kata ibu dua putra ini.
Sedangkan tetangganya, Nisa menyebut pemerintah tak memiliki pendirian. Di tengah pandemi, malah seenaknya mengubah-ubah kebijakan. “Beban hidup ditambah. Tak ada yang menguntungkan,” keluhnya. Nisa biasanya berbelanja barang kebutuhan setelah suaminya gajian. “Jadi belum mengecek ke pasar,” tambahnya. (war/gmp/at/fud)