Namun, mengulik manuskrip kuno karangan Empu Prapanca, di sana tertulis nama Barito, Sawaku dan Tabalong.
Kerajaan Majapahit mengutus Empu Jatmika. Menaiki kapal bernama Prabayaksa. Menggelar ekspedisi, mencari tanah baru di sepanjang alur Barito.
Setiba di wilayah Kahuripan, Empu Jatmika menyaksikan perkampungan di Palimbangansari. Komunikasi antara pendatang dan warga setempat berlangsung. Empu Jatmika kemudian mendirikan candi Hindu yang kelak menjadi cikal bakal kerajaan Negara Dipa pada abad ke-16.
Timbul pertanyaan, kenapa Amuntai tidak disebut saja Negara Dipa atau Kota Agung? Dari kisah turun-temurun, di sekitar candi banyak ditemukan buah-buahan bernama Muntai. Tentu saja, riwayat ini bukan dasar yang kuat.
Namun, ada catatan lain seperti surat keputusan Sultan Adam Al Wasyikbillah tertanggal 20 Rabiul Awal 1263 Hijriah atau 1843 Masehi. Di sana sudah disebutkan nama Amuntai. Termasuk Babirik, Sungai Karias, Tanah Habang, Kusambi, Lampihong dan Tabalong.
Sumber lain, seusai huru-hara Banjarmasi, VOC (kongsi dagang Belanda) datang ke Candi Agung. Melihat bangunan candi yang terletak tinggi, mereka menyebutnya sebagai mountain. Dari Bahasa Inggris, terjemahnya adalah gunung.
“Kebiasaan masyarakat dulu dan sekarang, selalu suka meniru-niru istilah asing. Walaupun lidahnya tak mampu mengeja secara sempurna. Kadang-kadang, pendengaran juga tak sesuai dengan pengucapan. A mountain perlahan berubah menjadi Amunten, Hamuntai lalu Amuntai,” terangnya.
Kesimpulan Ahdiyat, setelah serangan ke Kampung Kuin pada 1606 dan setelah Inggris membuka kantor dagang di Kayutangi pada 1615, para pedagang asing mulai berdatangan ke Amuntai. (mar/gr/fud)