Kesaksian Bini Muda Bupati HSU Nonaktif, dari Uang Bulanan 10 Juta Sampai 2 Mobil

- Kamis, 23 Juni 2022 | 12:30 WIB
SAKSI: Dwi Septiyani memberikan kesaksian di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, (20/6) malam. FOTO: IST
SAKSI: Dwi Septiyani memberikan kesaksian di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, (20/6) malam. FOTO: IST

Dengan terbata-bata, Dwi Septiyani meminta maaf kepada keluarga terdakwa. Dia mengakui sebagai istri Bupati Hulu Sungai Utara (HSU) nonaktif, Abdul Wahid. Keduanya menikah pada 14 Januari 2020.

 

BANJARMASIN – Dwi didatangkan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi di Pengadilan Tipikor Banjarmasin, kemarin (20/6) malam. “Sebelumnya saya menyampaikan maaf kepada istri dan keluarga besar bapak (terdakwa). Saya merupakan istri siri beliau,” tuturnya dalam sidang pembuktian tindak pidana pencucian uang (TPPU) terhadap Wahid.

Sebagai istri muda, Dwi mengaku mendapat kiriman uang bulanan antara Rp5 juta sampai Rp10 juta. Plus fasilitas dua mobil.

Mobil itu dipesan pada Februari 2020, sebulan setelah pernikahan. Dibeli secara tunai dengan uang pemberian Wahid.
Diceritakannya, Dwi menginginkan dua buah Honda HR-V. Dua unit. Namun Wahid menyarankan tipe yang lebih besar. Akhirnya, Dwi memesan satu unit tipe CR-V.

Kedua mobil itu nilainya Rp1 miliar lebih. Honda HR-V seharga Rp527 juta dan Honda CR-V seharga Rp550 juta. “Awalnya mau HR-V dua-duanya, tapi kata bapak cari yang tipenya lebih besar. Jadi yang kedua diganti CR-V,” ujarnya. 

Surat-menyurat kedua mobil itu tentu bukan atas nama Wahid. Satu unit memakai identitas orang lain (Baihaqi Sajeli). Satu unit lagi atas nama Dwi. “Selain mobil, saya juga dikasih cincin,” bebernya di depan majelis hakim.

Perkenalan keduanya berawal pada tahun 2018. Semasa masih perawat, dia menghadap Wahid. Meminta tolong agar tempat tugasnya dipindahkan dari Puskesmas Amuntai Selatan ke RSUD Pambalah Bantung. Wahid berjanji akan memprosesnya. Tahun 2019 terwujud, Dwi menjadi kasubbag kepegawaian di rumah sakit di Amuntai tersebut.

Selain Dwi, KPK juga menghadirkan empat saksi lain. Mereka adalah pengurus dapur rumah tangga terdakwa Abdi Rahman; kontraktor Tulus Sabari dan Fahmi, hingga sales mobil Ferry Riandi.

Tulus mengungkap ada beberapa aset milik terdakwa. Tak hanya berupa kendaraan bermotor, tapi juga sarang burung walet, rumah dan tanah di Kota Banjarbaru. Termasuk Klinik Bharata di Amuntai. Tulus adalah kontraktor pembangunan klinik tersebut. Pembangunan dimulai tahun 2020 lalu. “Anggarannya Rp5,8 miliar. Sudah diterima Rp3,2 miliar lebih,” bebernya seraya merincikan Rp830 juta untuk upah pekerja dan Rp2,3 miliar untuk pembelian material. 

Pembangunan klinik bertingkat dua ini terhenti saat Wahid diciduk KPK. “Bulan Oktober 2021 berhenti setelah ada kasus ini. Pembangunan baru 50 persen lebih,” tuturnya. Dari pengakuannya, uang pembayaran yang diterimanya tersebut diserahkan oleh Abdi Rahman dengan dicicil. “Semua tunai, dibayar setiap bulan sesuai rencana pekerjaan bulanan. Besarannya ada yang Rp40 juta, Rp50 juta, Rp150 juta atau juga Rp200 juta,” sebutnya. Abdi tak menyangkal keterangan Tulus itu. Hadir secara virtual dari Lapas Teluk Dalam, Wahid tak membantah keterangan para saksi di atas. “Tak ada, majelis hakim,” ucapnya saat diminta tanggapan oleh Ketua Majelis Hakim, Yusriansyah.

Pekan depan jaksa KPK akan kembali menghadirkan saksi-saksi untuk mengungkap aliran kekayaan Wahid. “Pekan depan akan dihadirkan empat sampai lima orang untuk pembuktian dakwaan TPPU,” ujar Jaksa Penuntut Umum KPK, Titto Jaelani. (mof/gr/fud)

 
 
 
 

 

 

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Banjarmasin Pulangkan 10 Orang Terlantar

Jumat, 26 April 2024 | 14:30 WIB
X