Warga Tuding Pembakal Dalangi Pencurian Sawit, Pembakal Melawan

- Jumat, 24 Juni 2022 | 12:16 WIB
ilustrasi
ilustrasi

 Kecemburuan sekelompok warga sudah muncul lama. Turahyo yang menjabat kepala desa sejak 2014, pelan-pelan menjadi OKB alias orang kaya baru. “Rumahnya bagus, mobilnya juga,” kata Supriyanto, warga Desa Sumber Sari Kecamatan Sungai Loban Kabupaten Tanah Bumbu kepada Radar Banjarmasin, Rabu (22/6).

Supri dengan belasan warga, jauh-jauh datang ke Batulicin. Hanya untuk berbagai masalah mereka dengan wartawan. Sebelum masuk ke inti masalah, perlu diketahui, pemasukan terbesar warga ada di buah sawit. Emas hijau itu sejak belasan tahun belakangan menjadi denyut nadi ekonomi mereka.

Sekitar tahun 2000-an sawit ditanam. Oleh PT Sajang Heulang. Waktu itu Sumber Sari masih bergabung dengan Desa Dwi Marga Utama.Lahan milik warga dijadikan plasma. Artinya, perusahaan membayar biaya penanaman dan pemeliharaan. Ketika panen, hasilnya dibagi. Sebagian buat bayar utang di bank, sisanya dibagi antara warga dan perusahaan.

Total lahan desa yang ditanam sekitar 1.014 hektare. Tahun 2014, desa dimekarkan. Terjadi penyesuaian tapal batas. Aparatur Desa Sumber Sari mengklaim memiliki 134,5 hektare tak bertuan, menjadi milik desa. Seratus hektare lebih merupakan bagian dari plasma.

Awalnya berjalan lancar. 313 pemilik lahan plasma setiap bulan menerima bagi hasil dari Sajang Heulang melalui KUD Tuwuh Sari.

Prosesnya, Sajang Heulang yang panen. Hasil duitnya dikirim ke koperasi. Baru kemudian dibagikan kepada warga.

Duit yang diterima bervariasi, tergantung jumlah lahan yang dimiliki. Sebagai gambaran, Sumarno yang punya tiga hektare, pada saat harga TBS Rp3 ribu per kilogram, dapat jatah Rp7 juta lebih per bulan.

Tahun demi tahun berjalan. Perubahan kekayaan Turahyo yang dinilai warga bombastis menimbulkan kasak-kusuk. “Akhirnya kami menemukan data fee sawit dari perusahaan. Dari 2014 ke 2022 totalnya Rp1,7 miliar. Ini kami tidak tahu ke mana duitnya,” kata Ari Hariadi.

Ari didaulat menjadi ujung tombak warga Sumber Sari, melawan Turahyo. Dia baru lulus sarjana hukum di UIN (Universitas Islam Negeri) 2021 tadi. Tidak mudah memperoleh data itu. Warga awalnya melihat saldo total pengeluaran KUD. Total angkanya jomplang dengan hasil yang diterima warga. Artinya ada pengeluaran lain.

Turahyo di awal memimpin sempat membentuk Tim 9. Sesuai namanya, sembilan orang ini bertugas menyelesaikan tapal batas desa. Seorang anggota tim itulah yang membocorkan data fee desa. Dia mau membocorkan, ketika warga mengancam akan ribut besar-besaran.

Kata Ari, dalam kuitansi itu tertulis jelas kalimat: fee desa. Kemarahan warga semakin menjadi-jadi. Mereka meminta Turahyo mempertanggungjawabkan total dana Rp1,7 miliar. Pambakal (kepala desa) dua periode mengaminkan. Dia membuat beberapa bundel laporan. Tapi bukannya menerima, warga malah tambah marah. “Gak ada kuitansi, gak ada sama sekali bukti dalam laporan itu,” jelas Ari.

Wartawan pun diperlihatkan bundelan itu. Memang hanya berupa item-item pengeluaran. Tanpa foto, tanpa kuitansi. Paling besar adalah biaya untuk kerja tim tapal batas, totalnya Rp700 juta lebih. “Apa yang dikerjakan? Tapal batas sudah beres waktu desa dibentuk,” jelas Ari.

Belum berhenti di sana, permusuhan menjadi semakin dalam. Ketika Turahyo mendatangkan beberapa orang untuk memanen sawit di atas lahan 134,5 hektare. Sekitar tiga bulan lalu.

“Dananya ke mana, dijual ke mana sawitnya, kami tidak tahu. Harusnya buat warga,” masih kata Ari. Akibat pemanenan itu, warga merugi Rp12 juta per hari. Dari hitungan kasar, jumlah ton hasil panen kali harga TBS Rp2,6 ribu. “Ada sekitar 75 hari mereka panen,” jelas Ari. Dengan kata lain duitnya sekitar Rp900 juta.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Balaskan Dendam Kawan, Keroyok Orang Hingga Tewas

Kamis, 28 Maret 2024 | 18:10 WIB

Setelah Sempat Dikeroyok, Seorang Pemuda Tewas

Kamis, 28 Maret 2024 | 08:00 WIB

Tim Gabungan Kembali Sita Puluhan Botol Miras

Selasa, 26 Maret 2024 | 16:40 WIB
X