Derita Pengguna Hape Jadul, Pengamat: MyPertamina Merepotkan Konsumen

- Jumat, 1 Juli 2022 | 11:59 WIB
PENGECER: Pelangsir adalah yang paling pertama terkena dampak pemakaian MyPertamina di SPBU. FOTO: WAHYU RAMADHAN/RADAR BANJARMASIN
PENGECER: Pelangsir adalah yang paling pertama terkena dampak pemakaian MyPertamina di SPBU. FOTO: WAHYU RAMADHAN/RADAR BANJARMASIN

 Mau tak mau, suka tak suka. Mulai besok (1/7), pengendara di Banjarmasin yang kerap membeli BBM jenis Pertalite dan Biosolar harus menunjukkan aplikasi MyPertamina ke operator SPBU.

Bagi kalangan menengah atas, tak masalah. Berbeda dengan kalangan menengah bawah. Bagi mereka, gawai adalah barang mewah. Dan paket internet adalah barang mahal.

Memang kebijakan ini masih diperuntukkan bagi kendaraan roda empat ke atas. Tapi masyarakat pengguna roda dua mulai was-was. “Menyusahkan. Mau membeli saja dipersulit,” keluh Sari, warga Jalan Kinibalu, Banjarmasin Tengah. 

Dia juga kesulitan memahami sistem yang hendak diterapkan Pertamina. Saat ini, dia memang memiliki ponsel pintar. Tapi keluaran lama. Jika di-install aplikasi lagi, bakal error. “Paham saja tidak. Semoga saja di eceran masih ada,” seloroh Sari.

Senada dengan Hasan. Warga Jalan Pramuka, Banjarmasin Timur itu mengaku gagap teknologi. Sebagai pengemudi ojek konvensional, gawai canggih memang bukan barang penting buatnya.

Alasannya, ketimbang membeli paket data, mending membeli beras. “Penghasilan sehari saja tak menentu. Tak kepikiran membeli hape hanya untuk kebagian bensin,” gerutunya. Hasan pun lebih rela membeli di pengecer. Walaupun agak lebih mahal. “Memang kalau dihitung-hitung, jadinya rugi,” tambahnya.

 

Pemilik mobil, Gery mengaku tak masalah dengan MyPertamina. Sebab ia menenteng gawai yang keren. Model yang masih gres. “Yang susah mungkin para sopir angkutan serabutan yang terbiasa memakai ponsel kecil,” ujar warga Sungai Andai, Banjarmasin Utara itu.

Dugaan Gery benar. Para sopir truk yang membutuhkan solar, mulai cemas mendengar Banjarmasin menjadi tempat uji coba MyPertamina.

Seperti Wahid, sopir angkutan bahan pangan pokok ini mengaku bingung. Dia hanya punya ponsel jadul.

“Semoga saja bos mau membelikan hape baru. Karena kalau pakai yang ada, nanti tak bisa mengisi BBM,” tuturnya.

Soal gawai, dia kerap meminjam milik anaknya. Itu pun cuma untuk memutar video di YouTube. Tak lebih. “Pernah mencoba pasang-pasang aplikasi, eh takang (terhenti),” kisahnya seraya tergelak.

Abidin, pemilik toko bangunan di Jalan Sutoyo S, Banjarmasin Tengah juga cemas. Pikap yang dipegang sopirnya masih “meminum” BBM bersubsidi. “Kalau begini, saya harus membeli hape khusus untuk sopir. Repot juga,” ujarnya.

Di mata pengamat, kebijakan ini minim sosialisasi. “Tak semua orang punya gawai. Ini harus menjadi catatan penting,” ujar Arief Budiman, dosen ekonomi dari Universitas Lambung Mangkurat. 

Meski punya smartphone, dia yakin tak semua orang fasih dengan aplikasi. Apalagi kalau registrasinya ribet.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

X