Sejarah Kandangan, Satu Nama, Banyak Cerita

- Jumat, 8 Juli 2022 | 12:34 WIB
MASA LALU: Parade serdadu KNIL di Kandangan pada tahun 1924 ketika menyambut Mr Dirk Fock.
MASA LALU: Parade serdadu KNIL di Kandangan pada tahun 1924 ketika menyambut Mr Dirk Fock.

MENGAPA diberi nama Kandangan? Ada banyak versi cerita tentang ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Selatan ini. Pemerhati budaya lokal, Aliman Syahrani menuturkan, versi pertama berkelindan dengan sejarah perlawanan pribumi terhadap kolonial.

Perlawanan yang muncul akibat Hindia Belanda melecehkan penduduk Hulu Sungai. Hulu Sungai adalah sebutan bagi masyarakat Banjar yang tinggal di daerah pegunungan. 

Kelompok pemberontak ini kemudian mengisolasi diri. Membentuk komunitas baru di sebuah tempat yang kelak bernama Kandangan.

Perkampungan baru ini bahkan memiliki hukum sendiri. Siapa yang hendak bergabung dan tinggal di sana, wajib mematuhinya. Siapa yang melanggar, harus siap dihukum.

“Ibaratnya, mereka ini hidup dalam sebuah negara baru. Negara dalam negara,” kata Aliman. Sebagai manusia, mereka sebenarnya hanya berjuang untuk membela harga diri. Benturan fisik menjadi tak terhindarkan. “Acap terjadi baku timpas, korban berguguran di kedua belah pihak,” lanjutnya.

Penjajah kemudian menciptakan citra menyeramkan bagi kelompok yang tinggal di Kandangan. Sekian lama hidup dalam masa pergolakan, pola pikir dan perilaku orang-orang di perkampungan ini ikut berubah. Kian akrab dengan tindak kekerasan dan kemarahan. Maklum, mereka tumbuh dalam lingkungan yang memberontak.

Sesekali, mereka keluar untuk mencari bahan pangan dan barang kebutuhan lainnya. Menuju pasar dan perkampungan tetangga. “Nah, ketika orang luar melihat dan mengenali, mereka berkata: lihat, itu orang Kandangan,” tukasnya. Kandangan mengacu pada kata kandang atau kurungan. Maksudnya, orang-orang yang hidup mengasingkan diri.

“Sekian lama waktu berjalan, sebutan itu semakin melekat. Dinamai Kandangan, lengkap dengan ciri khas, seperti mudah panas dan identik dengan kekerasan,” jelasnya. Terlepas dari akurasi cerita ini, label atau opini ini ternyata begitu melekat pada penduduk Kandangan.

Sedangkan versi lain menyebutkan, Kandangan berasal dari kata hadangan (kerbau). Alkisah, di kawasan Batang Hamandit (Distrik Amandit), banyak muncul tempat penggembalaan hadangan. Jumlah kandangnya ratusan dan tersebar. Lama-lama, pengucapan hadangan berubah menjadi Kandangan. Namun, bagi sebagian orang, versi kedua ini terlalu mengada-ada. Sebab, pergeseran kedua kata itu terlalu jauh. Berbeda misalkan dengan Marabahan yang berasal dari kata Muara Bahan.

Versi ketiga, terkait kultur keagamaan masyarakat Kandangan. Sekitar tahun 1800-an, di daerah bernama Karang Jawa digelar musyawarah para datu (tokoh sepuh). Hampir seluruh ulama Banua berhadir. Termasuk Datu Kelampayan (Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari), Datu Aling dan Datu Sanggul.

Kala itu, ketika Syekh Arsyad ditanya hendak berangkat ke mana, beliau menjawab mau pergi kondangan (diucapkan dengan dialek Banjar Kuala yang kental). Kabar ini tersiar dan menjadi bahan perbincangan, bahwa ulama besar Banjar itu sedang menuju Kandangan.

Versi terakhir, mengacu pada ketidaksukaan penduduk Batang Hamandit terhadap Lambung Mangkurat dari Negara Dipa. Bagi mereka, Lambung Mangkurat bukan tokoh yang bisa dipercaya. Lantaran menyebut Putri Junjung Buih sebagai perempuan hasil pertapaan. Pembodohan terhadap rakyat.

Padahal, nama aslinya Galuh Cipta Sari, perempuan asal Balangan. Yang kemudian dijadikan ratu boneka untuk memimpin Negara Dipa. Intrik istana ini memicu banyak pembunuhan. Maka, Batang Hamandit menyatakan perlawanan atas Lambung Mangkurat.

Sebuah benteng yang mirip kandang untuk memagari wilayah Batang Hamandit dibangun. Kendati berkali-kali diserbu pasukan kerajaan, benteng itu tidak pernah takluk.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

X