Tika berasal dari Desa Rumintin, Kabupaten Tapin. “Pas masih di Tapin, juga aktif di IPPNU (Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama),” tambah lulusan prodi PGSD FKIP Uvaya Banjarbaru ini.
Putri pasangan Suryadi dan Mardikayah ini mengaku tertantang untuk mencapai pucuk organisasi tempatnya bergiat. Terbukti, Tika langganan menjabat posisi ketua. Sebagai perempuan, Tika ingin mengikis prasangka negatif atas kaumnya. “Saya termasuk penganut keseteraan gender. Saya selalu meyakini, asalkan dikasih kesempatan, perempuan juga bisa. Baik dalam berkarier maupun memimpin,” tegasnya.
Perjalanan menuju puncak jelas tak menyenangkan. Meski sudah didukung rekan seorganisasi, terkadang Tika mesti menghadapi pandangan miring orang luar. Diremehkan hingga dianggap menekuni kegiatan tak berfaedah. Namun ia berusaha untuk teguh dengan pendiriannya.
“Pasti ada hal-hal begitu, apalagi saya kan wanita. Contoh, karena sering pulang larut malam atau berkumpul dengan laki-laki. Padahal lagi rapat atau urusan organisasi,” curhatnya.
Awalnya terasa mengganggu. Namun lama-lama Tika terbiasa menutup telinga. Mentalnya sudah kuat. “Saya mending fokus membuktikan manfaatnya saja,” tambahnya. Di PMII, Tika membawahi kurang lebih 30 pengurus. Bahkan, kader yang terdata nyaris 1.500 orang.
Menurutnya, dibandingkan lelaki, pemimpin perempuan lebih peka. Modal penting untuk menjaga stabilitas sebuah organisasi. “Jadi kalau ada masalah-masalah kecil, bisa cepat terdeteksi. Karena lebih peka,” jelasnya.
Meski sudah beberapa kali turun ke jalan untuk berunjuk rasa, Tika mengaku lebih menyukai jalur dialog. Bukan berarti ia alergi dengan orasi, tapi mengacu pengalamannya, dialog lebih efektif untuk menyampaikan aspirasi. “Lebih cepat didengar pemangku kebijakan. Menurut saya lho,” tukasnya. Lantas, ke mana Tika setelah ini? Alih-alih masuk partai politik, dia masih kerasan di organisasi mahasiswa. “Tidak dulu untuk politik praktis. Niatnya mau ke jenjang PMII provinsi dulu,” tutupnya. (rvn/gr/fud)