Mobil Komisioner KPU Murung Raya Terbakar, Ada yang Menduga Sengaja Dibakar

- Jumat, 6 Januari 2023 | 12:49 WIB
TUA DAN ASRI: Rumah adat balai bini di Jalan 9 November ini tak cuma penting untuk Arsitektur Banjar. Ia juga merupakan saksi sejarah.
TUA DAN ASRI: Rumah adat balai bini di Jalan 9 November ini tak cuma penting untuk Arsitektur Banjar. Ia juga merupakan saksi sejarah.

PADA zaman Kesultanan Banjar, rumah adat tipe balai bini dihuni oleh putri raja atau kerabat sultan dari pihak perempuan. Balai bini juga punya sebutan lain, yakni rumah baanjung. 

Rumah tua yang dibahas Tahulah Pian kali ini berada di Kampung Pangambangan. Tepatnya di Jalan 9 November, Banua Anyar, Banjarmasin Timur.

“Selain memiliki ciri arsitektur yang unik, ia juga mempunyai nilai historis yang membuatnya layak dijadikan cagar budaya,” kata sejarawan Mansyur kemarin (4/1).

Dosen sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat ini mengatakan, rumah itu dibangun tahun 1842 oleh pambakal (kepala Desa) Pengambangan. Kala itu dijabat Haji Sanudin. Sekarang, bentuknya tidak banyak berubah. Hanya ada penambahan kamar tidur.

Begitu Sanudin meninggal, rumah itu diwariskan kepada putranya Anang Syakrani. Dia seorang pedagang tikar dan gula lintas Banjarmasin, Jawa dan Singapura. Di dalamnya juga terdapat beberapa peninggalan perabot lama seperti lemari antik dan lukisan. “Berdasarkan silsilah keluarga, Anang Syakrani masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Datu Amin,” jelasnya. 

Datu Amin alias Mufti Muhammad Amin bin Shalihah. “Beliau adalah mufti tua di Kampung Kuin pada tahun 1876. Kemudian, menjadi mufti Banjarmasin sejak tahun 1880 sampai 1896,” terangnya. Seorang mufti bertugas memberikan fatwa untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi umat.

Datu Amin juga masih keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. “Maka wajar KH Zaini Abdul Gani (Guru Sekumpul) semasa muda sering berkunjung ke rumah itu,” bebernya. Balai bini juga menjadi saksi bisu penyelenggaraan birokrasi pemerintahan dari masa Kesultanan Banjar ke masa Hindia Belanda.

Sebagai pembanding model rumah ini, ada rumah Kepala Distrik Margasari yang didokumentasikan Belanda sekitar tahun 1920. Perkembangan berikutnya, balai bini dibangun dan dihuni oleh masyarakat kebanyakan. Bukan lagi menjadi hunian khusus putri raja.

Kembali pada sosok Sanudin, wilayah kekuasaannya sebagai pambakal cukup luas. Tidak hanya Pangambangan (sekarang hanya sebuah kelurahan), tapi juga mencakup Sungai Lulut. “Diperkirakan Sanudin merupakan seorang ronggo. Ronggo adalah istilah kepala warga Banjar pada zaman Belanda,” ungkapnya. 

Sederajat dengan Ronggo adalah Kapten Arab dan Kapten Cina. Pemuka golongan warga pendatang atau keturunan Timur Tengah dan Tionghoa.

Ronggo yang memerintah pada era itu adalah Pangeran Tumenggung Tanu Karsa (30 Juni 1864), kemudian Raden Tumenggung Suria Kusuma (6 Agustus 1876-1893), serta Ronggo Kiai Mas Djaja Samoedra (24 Maret 1893).Balai bini ini juga pernah menjadi tempat persembunyian Badan Pemberontakan Rakyat Kalimantan (BPRK), yang berjuang menentang kembalinya Belanda ke Indonesia yang baru merdeka.

Untuk memberi konteks sejarah, Banjarmasin adalah pusat konsolidasi kekuatan Belanda. Sementara BPRK dibentuk seusai rentetan perundingan pada 16-19 Oktober 1945.

“Markas besar BPRK ditempatkan di Kampung Pangambangan,” tukasnya. Diceritakan, di Pangambangan berkumpul 99 pemuda. Jihad itu dipimpin panglima Malil Tafair dan wakilnya Utuh Buaya.“Senjata mereka hanya keris, parang dan tombak. Puncaknya adalah peristiwa 9 November 1945,” pungkasnya. Jika Anda ingin melihat langsung rumah adat ini, jaraknya hanya 20 meter dari Tugu Peringatan 9 November. (lan/gr/fud)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Pertanyakan Konsistensi Dinas PUPR

Selasa, 23 April 2024 | 08:45 WIB
X