Mardani H Maming, mantan Bupati Tanah Bumbu yang menjadi terdakwa kasus korupsi, membacakan pleidoinya dari Rutan Pomdam Jaya Guntur, Jakarta Selatan. “Kebebasan saya dirampas,” kata kader PDI Perjuangan itu. Rabu (25/1), Mardani hadir secara virtual di Pengadilan Tipikor Banjarmasin. Dengan suara lantang, pria 41 tahun itu mengatakan semua tuduhan kepada dirinya tidak bisa diterima. “Saya amat meyakini tidak pernah melakukan perbuatan jahat yang dituduhkan atas diri saya,” ujarnya.
Maka, hati nuraninya pun memberontak atas ketidakadilan ini. “Tapi saya bertawakal, percaya sepenuh hati serta berpasrah diri atas kehendak Allah SWT,” imbuhnya.
Ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak sejak 28 Juli 2022 lalu, Mardani mengaku mulai kembali banyak membaca. Terutama buku-buku biografi. Salah satunya tentang presiden pertama Sukarno. Dalam nota pembelaannya, Mardani mengutip kata-kata mutiara Sukarno. “Salah satu pesan Bung Karno yang terus melekat di ingatan saya: perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri,” ucapnya.
Ia merasa makna dari pesan itu relevan. Melihat sesama anak bangsa dijatuhkan dengan cara-cara licik. “Memakai tangan-tangan kekuasaan, termasuk melalui cara kriminalisasi,” kata mantan Bendahara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu. Ia menekankan, pleidoi ini tidak berisi keluh kesah atau luapan amarah. Mardani mengaku telah memaafkan siapapun yang telah berbuat keji pada dirinya.
Mengenai permaafan ini, dia menyebut pejuang anti apartheid Nelson Mandela dan tokoh pluralis Gus Dur. Keduanya, sebutnya, telah mengajarkan kata maaf. “Tapi mereka juga tidak lantas melupakan makar jahat. Agar generasi setelah kita bisa mengambil pelajaran,” tukasnya.
Mardani bahkan berencana akan menulis buku tentang kasus yang menimpa dirinya. Dan buku itu bakal dibagikan ke fakultas hukum di seluruh perguruan tinggi di Indonesia. Nota pembelaan setebal 515 lembar itu secara bergantian dibacakan kuasa hukum. Tim kuasa hukum gabungan dari PBNU, HIPMI dan PDIP ini coba membantah sejumlah dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK.
Menyangkal suap sebesar Rp118 miliar. Dan menyoal terbitnya surat keputusan (SK) bupati perihal pengalihan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang ditandatangani Mardani pada tahun 2011 lalu dan menjadi pokok perkara. Menurut Abdul Qodir, salah satu kuasa hukum terdakwa, pengalihan IUP tersebut sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Dijelaskannya, pengalihan IUP masih dimungkinkan sepanjang memenuhi Pasal 93 ayat 2 dan 33 UU Minerba. Yakni, dapat dialihkan setelah melalui tahapan eksplorasi tertentu dan memberitahukannya kepada menteri, gubernur, wali kota atau bupati. “Jaksa tidak fair dalam menyusun surat dakwaan dan tuntutannya, karena memenggal Pasal 93 tersebut. Seolah-olah pengalihan IUP mutlak tidak bisa,” ujar Qodir.
Perihal suap, dia juga menegaskan, yang diterima kliennya bukan hadiah atas penerbitan SK Nomor 296 tersebut. Melainkan hasil hubungan bisnis.
“Dan yang paling penting, dalam kasus ini tidak ada kerugian negara,” tekan Qodir.
Sidang kembali dilanjutkan pada 10 Februari mendatang dengan agenda putusan hakim.
Pasalnya, kemarin agenda replik dan duplik sudah dibacakan JPU dan kuasa hukum secara lisan.
“Kami berkeyakinan klien tidak bersalah dalam perkara ini,” sebut Qodir dalam duplik, setelah menjawab replik dari JPU KPK yang menyatakan tetap pada tuntutan semula yang telah disampaikan pada sidang sebelumnya.Seperti diketahui, pada sidang tuntutan, Mardani dituntut hukuman penjara 10 tahun enam bulan. Dia didakwa bersalah melanggar Pasal 12 huruf b juncto Pasal 18 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Mardani juga diwajibkan membayar denda Rp700 juta subsider pidana delapan bulan kurungan. Ditambah hukuman tambahan membayar uang pengganti sebesar Rp118 miliar lebih. Jika Mardani tak membayarnya setelah satu bulan keputusan hukum tetap, maka diganti dengan penjara selama lima tahun. Uang pengganti akan dikompensasi dengan barang bukti yang dirampas negara untuk dilelang sebagai pengurang uang pengganti. (mof/gr/fud)