SEBAGAI ibu kota, sejak dahulu Banjarmasin selalu menjadi tujuan untuk mengadu nasib. Dari usaha halal hingga yang haram pun ada di Kota Seribu Sungai ini.
Ternyata pelacuran bukanlah hal baru di Banjarmasin. Tak percaya? Catatan sejarah membuktikan.
Dosen sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat, Mansyur menceritakan, perekonomian Indonesia pada tahun 1965-an sangat buruk.
Inflasi membumbung tinggi, membuat masyarakat kesusahan, apalagi yang tinggal di desa. Mereka yang tak tahan kemudian merantau menuju kota-kota.
Mirisnya, beberapa perantauan perempuan memilih jalan pintas—menjadi pelacur.
Mengutip artikel ‘Sejarah Banjar’ yang ditulis Ramli Nawawi (1986), seorang penghuni Gang Mufakat di Kompleks Prostitusi Tiung bernama Rukayah asal Barabai mengaku datang ke Banjarmasin dengan harapan mendapat pekerjaan.
Harapannya, bisa mengirimkan uang ke kampung untuk meringankan beban orang tua. Rukayah mengaku tak sendiri, ia datang bersama wanita lainnya.
Tulisan itu juga mengutip kesaksian seorang laki-laki tua yang senang pelesiran di Tiung dan Rumah Kuning di Pasar Kupu-Kupu.
Diceritakan, penghuninya kebanyakan perempuan asal Parigi, Tapin dan desa-desa lainnya di Hulu Sungai.
“Dalam tulisan itu, mereka yang datang dari Desa Pandahan sering disebut wanita yang bekerja sebagai gandut,” kata Mansyur kepada Radar Banjarmasin.
Selain kedua tempat itu, pelacuran liar juga muncul di sekitar Pelabuhan Lama (sekarang Jalan RE Martadinata dekat Balai Kota).
Hampir saban malam ada PSK yang berkeliaran. Pelabuhan Lama dianggap strategis karena di sana banyak anak buah kapal yang kesepian. Lama tak disentuh perempuan setelah berbulan-bulan berlayar di tengah lautan.
Setelah tahun 1965, seiring berkembangnya Banjarmasin, sekitar tahun 1966-1979, tempat-tempat pelacuran liar semakin eksis. Seperti di sekitar Pasar Antasari, Pelabuhan Trisakti dan lainnya.
Bahkan tempat pelacuran sudah merambah ke permukiman. Contoh Tiung. Yang sebenarnya kawasan kuburan Cina di Jalan Jati (sekarang Jalan Pangeran Antasari).
Di sekitar kuburan, ada Gang Sepakat dan Gang Sempurna. Di kedua gang itu dibangun perumahan, jumlahnya tak kurang dari 200 buah rumah. Meski bukan lokalisasi resmi, lama-kelamaan kawasan ini semakin ramai.
Bukan hanya pria hidung belang yang wara-wiri. Perempuan-perempuan muda dari luar kota juga berdatangan untuk mencari pekerjaan.
“Setelah dilanda kebakaran, pemerintah daerah memindahkan pemukiman ini ke lokasi baru. Yakni di Begau, Banjarmasin Selatan,” terangnya.
Berkembang pesat, Begau akhirnya berubah menjadi lokalisasi “resmi”.
Sekarang, Begau sudah ditutup. Pemerintah kota kemudian membangun tiga rumah susun sewa (rusunawa) di sana.
“Pasar Kupu-Kupu juga cukup besar, lokasinya di belakang kantor RRI (Radio Republik Indonesia) lama di Jalan Lambung Mangkurat,” sebutnya.
“Pasar Kupu-Kupu pernah berjaya pada tahun 70-an,” tandasnya. (mof/gr/fud)