Ayu kerap sedih melihat anak muda yang menghabiskan waktunya untuk menatap layar ponsel pintar.
***
BATULICIN – Sorot matanya tajam. Gadis berdarah Banjar Bali ini sejak SD sudah mencintai dunia balap. “Aku gak suka main masak-masakan, kurang menantang,” ujarnya kepada Radar Banjarmasin.
Ayu Norjanah tumbuh besar di Pagatan, Kabupaten Tanah Bumbu. Pesisir berpasir putih di selatan Kalsel. Tempat lahirnya keturunan darah para pejuang 7 Februari.
Ayu kecil sudah terpikat dunia balap, ketika mengenal Tamiya (mobil balap mainan). Waktu SD, olahraga itu sedang booming.
Ketika beranjak gadis, dia semakin cinta pada otomotif. Suka ngebut juga saat bepergian. “Suka aja. Intinya saya suka olahraga, main di alam,” kata penggemar novel Garis Waktu karya Fiersa Besari ini. Dia anak pertama dari tiga bersaudara. Orang tuanya pengusaha kuliner.
Singkat cerita, lulus SMA, Ayu kuliah di IPDN Bandung. Di Kota Kembang itulah, dia semakin mengenal dunia otomotif.
Sederhananya, Tamiya hanyalah miniatur dari mobil balap. Bedanya, mobil balap ada sopir, Tamiya tidak.
“Ban dan mesin (dinamo) harus sesuai dengan kondisi trek yang dilintasi. Semua ada perhitungannya,” ujarnya.
Ketika lulus IPDN, dia melamar di Tanah Bumbu. Nilainya bagus. Jadilah dia ajudan Ketua DWP Tanah Bumbu, Hasnah Mashude. Istri Sekretaris Daerah Ambo Sakka. Di sini Ayu semakin bisa menikmati hobinya. Sudah ada gaji untuk membeli Tamiya yang keren-keren. “Biasanya kami (komunitas Tamiya) main di halaman kantor bupati. Pernah ikut turnamen, pernah juara tiga,” akunya.
Namanya ajudan, harus siap sedia 24 jam jika diperlukan. Jadi kadar kelelahannya tinggi. Nah, obatnya adalah Tamiya atau melaju di jalan raya. Saking bergairahnya dengan balap, Ayu pernah menempuh perjalanan darat dari Pagatan ke Banjarmasin dalam waktu 3,5 jam. Pakai roda dua.
“Waktu itu ada mobil nyelip. Saya terpancing. Saya balap. Mobil itu nyelip lagi. Balap-balapan jadinya,” kekehnya.
Namun dia buru-buru memberi garis tebal, kebut-kebutan itu jangan ditiru. Karena membutuhkan konsentrasi tinggi, kesehatan yang prima, dan tunggangan yang juga sehat.
“Risikonya besar. Gak sebanding. Makanya, saya gak jadi atlet balap. Soalnya sayang badan,” lanjut pemuja Valentino Rossi ini.
Tapi tambah Ayu, poin pentingnya bukan bagaimana dia bisa menempuh Pagatan – Banjarmasin 3,5 jam di tengah malam buta. Maksudnya, gairah anak muda itu ada di lapangan.
“Saya suka sedih. Kalau lihat anak sekarang habis waktunya main hape. Padahal, di lapangan itu jauh lebih indah. Lebih bergairah, lebih bahagia.”
Masa muda menurutnya hanya sekali. Sayang jika dihabiskan bermain atau menonton konten-konten di media sosial. “Lain cerita, kalau memang dia bekerja di dunia itu,” tekannya.
Bertemu dengan orang-orang di lapangan, olahraga dan bertualang dia yakini akan menempa karakter anak muda. Jadi percaya diri dan mandiri.
Keyakinannya itu tergambar dalam cita-citanya, mau jadi pengusaha sukses. Supaya bisa berbuat banyak untuk orang lain. (zal/gr/fud)